Kamis, 07 April 2011

KETERLIBATAN AUSTRALIA DALAM PEMBERONTAKAN PRRI/PERMESTA DI INDONESIA

 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perang Dingin adalah sebutan bagi sebuah periode di mana terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara Amerika Serikat (beserta sekutunya disebut Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta sekutunya disebut Blok Timur) yang terjadi antara tahun 19471991. Persaingan keduanya terjadi di berbagai bidang: koalisi militer; ideologi, psikologi, dan tilik sandi; militer, industri, dan pengembangan teknologi; pertahanan; perlombaan nuklir dan persenjataan; dan banyak lagi. Ditakutkan bahwa perang ini akan berakhir dengan perang nuklir, yang akhirnya tidak terjadi. Istilah "Perang Dingin" sendiri diperkenalkan pada tahun 1947 oleh Bernard Baruch dan Walter Lippman dari Amerika Serikat untuk menggambarkan hubungan yang terjadi di antara kedua negara adikuasa tersebut.
Setelah AS dan Uni Soviet bersekutu dan berhasil menghancurkan Jerman Nazi, kedua belah pihak berbeda pendapat tentang bagaimana cara yang tepat untuk membangun Eropa pascaperang. Selama beberapa dekade selanjutnya, persaingan di antara keduanya menyebar ke luar Eropa dan merambah ke seluruh dunia ketika AS membangun "pertahanan" terhadap komunisme dengan membentuk sejumlah aliansi dengan berbagai negara, terutama dengan negara di Eropa Barat, Timur Tengah, dan Asia Tenggara.
Perang Dingin telah membentuk dunia menjadi polar, yang satu blok kapitalis dipimpin oleh negara adidaya Amerika Serikat (AS) daan yang satu lagi, blok komunisdi bawah pengaruhUni Soviet (US). Sementara itu di kubu komunis pun terjadi rivalitas antara US dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Konflik ini telah menciptakan suasana di mana yang ada hanyalah kawan dan lawan. Dalam situasi demikian muncul pula gerakan alternatif dari negara-negara yang baru merdeka untuk tidak terlibat dalam pertikaian itu,mereka menyebut diri mereka Negara Non-Blok. Sukarno sebagai seorang pemimpin dunia ketiga yang menjelang tahun 1965 semakin dekat dengan pihak komunis di Indonesia menjadi target number one dari badan dinas rahasia AS (CIA). (Adam, 2009: 158)
Dalam perjalanannya sebagai negara merdeka, Indonesia tidak lepas dari berbagai macam pemberontakan-pemberontakan yang diakibatkan oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan ataupun perbedaan dalam menentukan dasar-dasar negara. Perbedaan-perbedaan tersebut sebenarnya bisa diselesaikan apabila kepentingan-kepentingan pribadi tidak menjadi hal yang utama, ataupun perbedaan-perbedaan tersebut sebetulnya banyak ditunggangi oleh pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda masih berperan banyak dengan tujuan Indonesia bisa kembami wujudli dikuasai oleh mereka.
Di dalam memahami wujud politik Australia khususnya pemberontakan daerah di Indonesia, perlu menelusuri kembali politik Australia di dalam menganggapi perubahan politik di dalam negeri Indonesia itu sendiri, sejak sistem Demokrasi Terpimpin diterapkan di Indonesia sampai berakhirnya konflik wilayah Irian Barat antara Indonesia dan Belanda yang mendapat dukungan Australia. Kalau diamati sepintas memenag Australia selalu mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi di Singapura dan Malaysia, namun perhatian utamanya adalah perkembangan politik di Indonesia. Dan khususnya yang terkait dengan diberlakukannya sistem Demokrasi Terpimpin serta pemberontakan daerah yang berlanjut dengan diproklamasikannya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan usaha-usaha Indonesia dalam merebut wilayah Irian Barat. (Soebandio, 2002: 188)
Kelahiran Demokrasi Terpimpin di Indonesia dan naiknya Presiden Soekarno ke panggung politik serta mempunyai kedudukan yang dominan dalam menentukan wujud politik luar negeri Indonesia, ini menjadi perhatian besar Australia. Di samping itu perkembangan kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta organisasi-organisasi lainnya yang berideologi komunis dan politik Indonesia yang dianggap mendukung politik Uni Soviet da RRC, kesemua ini dianggap oleh Australia sebagai masalah besar bagi keamanan Australia. Oleh karena itu sejak tahun 1957, Australia mulai berpendapat bahwa keadaan di Indonesia sudah sedemikian rupa sehingga Indonesia dianggap tidak akan mampu untuk ikut serta membendung ekspansi ideologi komunis di Asia Tenggara. Perkembangan lainnya yang menghawatirkan Australia adalah perkembangan kekuatan militer di Indonesia, yang mulai diperlengkapi dengan peralatan senjata yang dipasok oleh Negara-negara blok komunis. Pembangunan kekuatan militer di Indonesia ini dianggap oleh Australia merupakan ancaman terhadap keamanan Australia. Proses perubahan di dalam negeri Indonesia juga di kejutkan oleh meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta di mana Australia secara rahasia dan sembunyi-sembunyi mendukung covert operation yang dilakukan oleh AS.





B.     Rumusan Masalah
  1. Apa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya pemberontakan PRRI/Permesta?
  2. Bagaimana keterlibatan dan kebijakan Australia terhadap pemberontakan PRRI/Permesta?

C.    Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya pemberontakan PRRI/Permesta.
  2. Untuk mengetahui keterlibatan dan kebijakan Australia terhadap pemberontakan PRRI/Permesta.


























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Faktor munculnya pemberontakan PRRI/Permesta
Pemberontakan PRRI/Permesta, pada tahun 1958. Penyebabnya adalah adanya ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah dalam pembangunan daerah. Tidak meratanya pembangunan serta semakin melebarnya gerakan komunisme menjadi dasar bagi pemerintah daerah di Sumatera dan Sulawesi Utara untuk mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta atau lebih dikenal sebagai PRRI/Permesta.
Mereka merasa bahwa pemerintah terlalu bersifat sentarlis dan banyak berorientasi kepada pusat, yaitu Jakarta dan kepentingan orang Pulau Jawa. Ketidakpuasan ini terjadi khususnya bagi daerah-daerah yang menghasilkan devisa bagi Negara, seperti Sulawesi Utara ekspor kopra, mereka merasa bahwa hasil devisa yang didapat banyak dimanfaatkan untk kepentingan pusat dari pada kepentingan daerah. Mereka juga merasa bahwa daerah juga memerlukan banyak dana untuk menciptakan pembangunan demi kehidupan yang lebih baik dan maju untuk rakyat daerah. Sebaliknya pemerintah pusat menganggap bahwa pendapatan daerah diperuntukkan untuk seluruh bangsa dan wilayah nasional. Tapi kalau kiat amati secara objektif memang ada kecenderungan bahwa pemerintah pusat bersikap sentarlis. (Soebadio, 2002: 191)
Selain faktor ketidakpuasan daerah kepada pusat, faktor keretakan di tubuh TNI khususnya AD nampaknya turut mempengaruhi pemberontakan di daerah. Peristiwa tanggal 17 Oktober 1952 merupakan permulaan dari keretakan di tubuh AD, dimana peristiwa pimpinan AD mengajukan tuntutan agar Presiden Soekarno membubarkan parlemen. Pimpinan AD nampaknya tidak puas karena parlemen telah membicarakan sesuatu tentang AD, dan pembicaraan tersebut dianggap merugikan kepentingan AD, ditambah lagi bahwa yang ikut serta mengkritik keadaan AD tersebut diantaranya adalah orang-orang yang dulunya dianggap memihak Belanda, ketika perang kemerdekaan RI melawan Belanda. Perpecahan ini juga barangkali disebabkan umur para perwira pada saat itu relative masih muda, tetapi mereka telah menduduki jabatan tinggi sehingga kurang mampu mengendalikan diri mereka masing-masing. Padahal tindakan mereka menurut Presiden untuk membubarkab parlemen adalah tindakan yang melanggar disiplin.
Pada tanggal 15 Februari diumumkanlah suatu pemerintahan pemberontak di Sumatera, dengan markas besarnya di Bukittinggi. Pemerintahan ini terkenal dengan nama PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Dua hari kemudian, kaum pemberontak di Sulawesi, Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) bergabung dengan PRRI. Kini, pihak pemberontak mendapat jaminan dukungan secara rahasia dari AS dan para sekutunya, yang juga cemas terhadap Soekarno dan Komunis (PKI). Akan tetapi, sejak awal pihak pemberontak menghadapi kekurangan-kekurangan yang serius. Pemberontakan ini pun tidak memperoleh dukungan yang berarti di Sumatera Utara maupun Kalimantan. Kaum pemberontak Darul Islam di Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan tetap menempuh cara mereka sendiri, walaupun pada akhir tahun 1959 terjalin juga hubungan antara Darul Islam dan PRRI. Dengan demikian, PRRI merosot menjadi suatu pemberontakan yang terutama berpangkal di dua pusat yang berjauhan, Sumatera Barat dan Sulawesi,khususnya Sulawesi Utara yang pada waktu telah menjadi pusat gerakan Permesta. (Ricklefs, 2008: 545)
Dalam periode “Demokrasi terpimpin” (1958-1966), keseimbangan politik merupakan suatu segitiga. Bung karno sebagai pucuknya adalam Pemimpin Besar Revolusi yang memainkan politik perimbangan antara dua pendukungnya yang utama, yakni ABRI dan PKI. Sebenarnya bung Karno tidak pernah mengontrol tentara secara total. ABRI adalah kekuatan nyata, terutama setelah proses perebutan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malayasia. Bung karno mencurigai oknum-oknumnya, namun tentara-lah yang menjadikan Indonesia kembali ke UDD 45 dengan kekuasaan presidensil yang kuat dan sentral. Akhirnya dengan kekuasaan yang benar, Bung karno menjadi Presiden seumur hidup. Pada waktu itu, PKI yang paling baik organisasinya dibandingkan partai-partai politik lain. Setelah pemilu pertama pada tahun 1955, PKI menempati peringkat ke-4. Pada masa setelah gagalnya pemberontakan PRRI/Permesta oleh perwira tentara di daerah yang antikomunis, justru PKI semakin dinamis. Selanjutnya, keadaan politik “Demokrasi Terpimpin” itu ditandai oleh gejala keruntuhan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, seperti inflasi 600%, korupsi, kemacetan birokrasi, serba kekurangan dan sebagainya. Suasana politik yang “revolusioner’ waktu itu juga mengandung suasana totaliter, bahkan di sana sini terror. Hal ini disebabkan pemberontakan PRRI/Permesta baru terjadi, ada usaha pembunuhan terhadap bung Karno, keadaan darurat perang (SOB) serta konfrontasi dengan malayasia. (Onghokham, 2009: 152)
Faktor lain yang ikut serta mempengaruhi timbulnya pemberontakan adalah perkembangan politik dalam negeri Indonesia sendiri. Walaupun PKI telah berhianat terhadap RI, melawan dan memberontak yang dikenal dengan peristiwa Madiun pada tahun 1948, tetapi setelah tahun 1952, pimpinan pusat telah memberikan kesempatan kepada PKI untuk berkembang biak di Indonesia. Hasilnya dalam pemilihan umum pada tahun 1955, PKI termasuk 4 partai terbesar di Indonesia. Politik internasional, khususnya berkecamuknya Perang dingin antara blok Barat dan blok Timur, yang masing-masing blok memperebutkan pengaruh terhadap negara-negara di Asia-Afrika untuk membangun kekuatan di dunia yang dapat mendukung tercapainya cita-cita mereka, juga ikut serta menjadi penyebab timbulnya pemberontakan di Indonesia. Masing-masing ingin agar Indonesia ada di pihaknya, sekurang-kurangnya Indonesia tidak berpihak pada blok lawan.
Dengan adanya perkembangan PKI yang semakin besar pengaruhnya di Indonesia, blok Barat  yang dipimpin oleh AS dan Inggris, cukup merasa khawatir terhadap masa depan Indonesia. Sikap John Foster Dulles sebagai menteri luar negeri AS sangat jelas dan tegas, “siapa yang tidak berpihak kepada AS adalah musuh AS”. Suatu sikap yang amat picik bagi pelaksanaan politik internasional atau Negara sebesar AS, untuk keadaan waktu itu. Oleh karena itu jelas sekali, AS akan mendukung bahkan memberikan bantuan kepada mereka yang melawan Komunis dan Pemerintah Pusat RI. Sebaliknya Uni Soviet juga jelas akan mendukung gerakan-gerakan PKI dan kawan-kawannya. Dengan demikian fakta-fakta politik dalam negeri maupun internasional iti mempunya dampak besar terhadap terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta.
Di Sumatera, para pemimpin PRRI seperti Dr. Syafruddin Prawiranegara, Dahlan Djambek, Soemitro Djojohadikoesoemo dll, melakukan pemberontakan sebagai koreksi atas kebijakan pemerintah pusat. Sementara di Sulawesi Utara, Permesta melakukan pemberontakan dengan ditunggangi kepentingan negara asing, dalam hal ini adalah Amerika Serikat, terbukti dengan ditembak jatuh pesawat AS yang dipiloti oleh penerbang Amerika bernama Pope.


B. Keterlibatan dan Bentuk kebijakan Australia terhadap Pemberontakan PRRI/Permesta

1. Keterlibatan Australia di Indonesia Timur Pada Jaman Kemerdekaan
Pada saat Jepang menyerah, Pasukan Australia sudah berada di Morotai, Maluku Utara. Pasukan ini oleh komando Asia Tenggara pada tanggal 13 Agustus 1945 ditugasi untuk mengambil alih tanggung jawab sementara atas Kalimantan dan Indonesia Timur, sampai mereka dapat digantikan oleh pasukan-pasukan Inggris. Pemerintahan Hindia Belanda dalam pelarian, dalam hal ini Letnan Gubernur Dr. Hubertus J. van Mook, telah tinggal di Australia selama perang, dan karenanya dengan mudah dapat diatur agar pejabat NICA menyertai pasukan Australia ketika mereka mendarat di Indonesia Timur. Beberapa saat sebelum kedatangan pasukan Australia, seorang Australia yang ditawan, Mayor Gibson, telah ditunjuk sebagai wakil sekutu dan telah menemui gubernur untuk Sulawesi, Dr. Ratulangi, untuk minta bantuan guna memelihara hukum dan ketertiban. Dr. Ratulangi menyetujui permintaan ini, dan memberi tugas untuk memelihara ketertiban di Makassar sampai mendaratnya pasukan-pasukan Australia justru justru kepada para pemuda yang ingin mencegah pendaratan itu.
Rombongan pertama pasukan Australia, suatu barisan pelopor dari Brigade ke-21, tiba di Makassar tanggal 21 September 1945. Dalam beberapa hari mereka menyelesaikan apa yang mereka anggap bagian terpenting dari mandat mereka, yaitu evakuasi kurang lebih 460 orang tawanan perang ke Australia, yang kebanyakan warga negara Inggris, yang masih ditawan di Sulawesi Selatan. Pasukan Australia sekarang secara relatif bebas menghadapi pasukan Jepang dan kaum Republiken setempat. Jadi, tidak seperti pasukan Inggris di Jawa yang dibatasi oleh kecemasan akan keselamatan sejumlah besar tawanan perang, yang pada hakikatnya merupakan sandera bagi pemerintah Republik. Induk pasukan Australia mendarat di Makassar tanggal 23 September 1945. Mereka dengan segera diikuti oleh para pejabat NICA, beberapa di antaranya tampak telah tinggal di Australia  selama pendudukan Jepang, dan beberapa lagi di antaranya adalah kaum interniran yang telah dibebaskan. Reaksi terhadap kedatangan pasukan Australia dan pejabat NICA Belanda ini bercampur. Beberapa orang pejabat lama, banyak di antaranya dari kelompok minoritas Kristen, tampak menyambut dengan baik orang-orang Belanda dan mempermudah usaha mereka mengambil alih kantor-kantor pemerintah di daerah tersebut. Pada tanggal 2 Oktober 1945 terjadi insiden tembak-menembak yang agaknya dimulai oleh pasukan KNIL, yang terjadi dari orang-orang Ambon. Terjadi pertempuran sporadis di dalam kota selama tiga hari berikutnya, dan sejumlah penduduk Ambon terbunuh. Atas permintaan para pejabat australia dan NICA, Dr. Ratulangi menyampaikan pidato di depan rapat umum di pusat kebudayaan Maritjaja dalam usaha menenangkan situasi. (Harvey, 1989: 114)

2. Keterlibatan CIA Dalam Pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958

Tahun 1958 karena ketidak puasan atas tidak meratanya pembangunan di berbagai daerah dan takut penyebaran ajaran komunis, maka komandan militer setempat di Sumatra dan Sulawesi Utara membentuk dewan Banteng, dewan Gajah, deklarasi Permesta dll untuk menyatakan memisahkan diri dari RI. CIA / AS berperan dalam pemberontakan ini terutama di Sumatera karena mereka ingin tetap dapat minyak dari Sumatera bagian Selatan / Riau (Plaju, Sungai Gerong, Dumai). Di Sulawesi Utara mereka memberi bantuan pesawat dengan pilot bayaran dari Taiwan dan Filipina. Salah satu pilot bayaran warga AS bernama Pope tertembak jatuh dan berhasil ditawan saat pertempuran udara dengan pesawat TNI AU. Tahun 1958, sebelum operasi perebutan pantai timur Sumatera yang dipimpin oleh Jendral Yani (operasi 17 Agustus), AS berniat mendaratkan bantuan militer dan logistik besar-besaran untuk pasukan pemberontak melalui pendaratan Amfibi didukung Armada ke 7. Untuk persiapan hal ini mereka mengirim tim pendahuluan beranggotakan 4 orang anggota CIA yang didrop di Sumatera Barat. Tetapi laporan tim ini menyatakan tentara PRRI/Permesta "Ogah-ogahan" dalam melawan TNI, sehingga kalah. Ahkirnya tim ini dikeluarkan/evakuasi secara rahasia dari sebuah danau di Sumatra Barat dengan pesawat terbang amfibi. Setelah 50 tahun biasanya beberapa arsip penting CIA akan dibeberkan pada publik, terutama kaum akademis/ahli sejarah.

3. Kebijakan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta 
Ketika pergolakan daerah Sumatera dan Sulawesi Utara mulai menentang pemerintahan pusat, dan Sumitro memihak pihak pemberontak, maka Sumitro ditugaskan oleh pemberontak untuk melobi negara-negara lain guna mendapat bantuan baik bantuan material maupun bantuan moril. Pertama, Sumitro mendekati Critchley di ibu kota Malaysia, dimana Critchley pada waktu itu sebagai Australian High Commissioner di negara tersebut. Pertemuan Sumitro dan Critchley segera dilaporkan oleh Critchley ke Canberra dan sekaligus minta petunjuk dari menlu Australia, Casey. Laporan-laporan Critchley ke Canberra tentang pertemuan-pertemuannya dengan Sumitro salah satunya adalah memorandum tertanggal 24 Desember 1957, dia menjelaskan:
(Sumitro menemui saya di singapura di akhir pekan. Dia bilang kepada saya bahwa Simbolon sudah ada di koloni ini selama seminggu saat mereka membahas jalannya tindakan yang akan diambil olen Sumatra dan Indonesia Timur di belakang hari sebelumnya dengan kampanye anti Belanda dan kosekuensinya…)
Beberapa laporan Critchley menunjukkan bahwa Australia telah lama mengadakan hubungan dengan kaum pemberontak di Indonesia dan mengadakan pembicaraan-pembicaraan yang mengarah kepada dukungan Australia terhadap pemberontakan di indonesia. Keterlibatan Australia terhadap pemberontakan PRRI/Permesta nampaknya bukan hanya berupa simpati tetapi Australia sesungguhnya memberikan bantuan peralatan perang dan fasilitas-fasilitas lain. Kemudian ketika blok Uni Soviet dan Cina komunis mulai mengadakan pendekatan terhadap Indonesia dan mendukung tuntutan Indonesia atas wilayah Irian Barat maka Amerika Serikat mulai curiga bahkan menduka bahwa Indonesia mulai berkiblat ke blok komunis internasional. Kecurigaan AS terhadap Indonesia mau tidak mau diikuti oleh sekutu setianya, Australia. Hal ini merupakan salah satu faktor dominan yang ikut menetukan mengapa Australia medukung dan membantu pemberontakan PRRI/Permesta.
Kalau dipelajari dengan seksama, dokumen-dokumen yang ada di Australia Archives yang disimpan di Canberra, menunjukkan bahwa politik Australia terhadap pemberontakan dalam negeri Indonesia antara ucapan di muka umum dan tindakan pemerintah Australia sangat berbeda. Keterlibatan Australia dalam membantu PRRI/Permesta pada satu sisi harus mendukung Inggris dan AS sebagai negara protektornya. Sedangkan, pada sisi lain Australia mempunyai kepentingan sendiri, khususnya terhadap wilayah Irian Barat, dimana sejak meletusnya sengketa Irian Barat antara Belanda-Indonesia, Australia sepenuhnya mendukung Belanda atas dasar pertimbangan kepentingan keamanan benua Kangguru tersebut. Dukungan Australia terhadap Belanda mau tidak mau memerlukan dukungan keduan negara tersebut (Inggris dan AS).
Hal semacam ini juga mengingatkan kembali kepada keadaan wilayah Indonesia ketika masih dijajah Belanda, di mana hubungan Indonesia (Hindia Belanda) dengan Australia ditentukan oleh kekuasaan yang ada di Eropa,terulang kembali. Dengan demikain, AS demi kepentingan politik globalnya, membendung perkembangan komunisme di Asia Pasifik, kepentingan Australia atas wilayah Irian Barat dikorbankan begitu saja. Disamping itu, Australia demi kepentingan keamanannya khususnya yang berkaitan dengan wilayah Irian Barat, cenderung mendukung gerakan PRRI/Permesta.Untuk hal tersebut Australia berusaha agar ANZUS ikut serta. Campur tangan dalam masalah dalam negeri Indonesia khususnya dengan pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi. Keterlibatan Australia terhadap gerakan pemberontakan PRRI/Permesta melalui proses yang dipadukan dengan keinginan Australia memperlemah kedudukan pemerintah rezim Soekarno, sehingga memperlemah tuntutan Indonesia terhadap wilayah Irian Barat, disamping itu kepentingan Australia sendiri dalam rangka mendukung politik pembendungan komunisme yang diprakarsai oleh AS. Dengankata lain Australia masih harus tetap mempertimbangkan dua Negara protektornya, Inggris dan AS. Namun demikian di dalambenak para petinggi Australia sendiri secara tersembunyi cenderung menyambut baik dengan adanya pemberontakan tersebut. Kecenderungan petinggi Australia untuk mendukung pemberontakan PRRI/Permesta ini dapat dilihat dari kesibukan departemen pertahanan Australia melalui langkah-langkah awal dengan jalan agar persoalan pemberontakan dibicarakan dalan ANZUS military talks on Indonesia. (Soebadio, 2002: 235)
Keberanian Casey untuk mendukung pergolakan pemberontakan PRRI/Permesta ini karena ia merasa yakin benar bahwa kedua Negara protektor Australia telah lebih dahulu mendukung gerakan pemberontakan tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika Casey mengadakan pertemuan dengan Allen Dulles, pada tanggal 4 Oktober 1957. Hubungan Casey dengan para pemberontak PRRI/Permesta secara tidak langsung telah dijembatani Critchley, Australian High Commissioner, di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia seorang diplomat yang berpengalaman dan banyak kenal tokoh-tokoh pergerakan Indonesia ketika revolusi Indonesia masih berkobar untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Critchley juga pernah menjadi anggota a Commissioner of Good Offices for Indonesia. Oleh karena itu ia kenal Sumitro Djojohadikusumo sejak revolusi Indonesia tahun 1946. Kemudian pada tanggal 7 Pebruari 1958, Casey mengirim telegram ke Critchley, dan memberi tahubahwa Australia sedang mendiskusikan pendekatan-pendekatan tersebut dengan Inggris dan Amerika. Sementara itu Critchley juga tetap mengadakan komunikasi dengan para diplomat Inggris dan AS yang ada di wilayahnya dan agen-agen ASIS, MIL dan CIA mengadakan perundingan untuk membicarakan bantuan apa saja yang dapat diberikan kepada para pemberontak di Indonesia termasuk bantuan senjata.
Tiga hari kemudian Critchley diperintahkan oleh Canberra agar ia berusaha menemui Sumitro, yang baru saja kembali dari lawatannya ke Eropa dalam usaha mencari bantuan dan menanyakan bagaimana hasil usahanya. Selanjutnya Critchley juga diperintahkan untuk menghentikan kontak-kontaknya dengan Sumitro di Singapura. Kontak-kontak ini harus dihentikan karena takut diketahui oleh Jakarta, dan kalau ini tercium Jakarta maka akan merugikan Australia. Kemudian Tange menjelaskan agar hubungan mereka dapat diteruskan di Kualalumpur dengan sangat hati-hati. Pada tanggal 27 Pebruari 1958, setelah Casey mengadakan pembicaraan dengan Menzies, kemudian Casey menandatangani surat perintah kepada ASIS (Australian Secret Intelligence Service) untuk segera melaksanakan special political action terhadap Indonesia. Menjelang akhir bulan Pebruari 1958 operasi yang dilakukan pemerintaj pusat Jakarta terhadap para pemberontak dimulai. Jakarta, mulai membom pusat-pusat kegiatan pemberontakan di Sumatera Tengah, dan kemudian pada bulan Maret 1958 pemerintah Jakarta mulai mendaratkan pasukannya di bumi Sumatera. Pada tanggal 11 Maret 1958 para wakil dari anggota-anggota SEATO (South East Asian Treaty Organization), termasuk John Foster Dulles (US Secretary of State) dan Casey (Menlu Australia) bertemu di Manila guna membicarakan tindakan apa yang dapat dilakukan bagi pemberontakan PRRI/Permesta.
Pada hari berikutnya, Casey menemui Dulles dan Lloyd, kemudian pada malam harinya Casey mengirim telegram ke Manzies memberitahukan bahwa AS dan Inggris sepakat untuk semua bantuan yang mungkin dapat dikumpulkan, supaya dengan segera disampaikan kepada para pemberontak, dan Harus ditempuh dengan cara apa pun, tetapi harus dengan hati-hati guna dapat menyembunyikan asal bantuan tersebut. Bantuan Australia kepada para pemberontak PRRI/Permesta juga mendapat persetujuan menteri keuangan Australia, Roland Wilson,kemudian bantuan ini dikoordinasi dengan Inggris di Singapura. Untuk keperluan koordinasi ini pemerintahan Australia mempercayakan Ralph Harry, kepala ASIS sebagai wakilnya di Singapura. Akan tetapi pimpinan operasi dariproyek ini tetap dipegang oleh Sir Robert Scott, komisaris tinggi Inggris mempunyai gagasan agar dalam jangka panjang, mendorong terjadinya pemberontakan di Ambon dan kepulauan Maluku, sehingga pandangan dunia internasional terhadap pemerintah Indonesia menjadi buruk, karena ketidak-mampuan mengendalikan negaranya. Nampaknya saran ini disetujui akan tetapi karena masalah yang mendesak adalah bagaimana caranya agar pemberontakan di Sumatera Tengah mampu dan berhasil melawan pemerintah Jakarta, maka usul tersebut untuk sementara dikesampingkan. Ralph Harry, Kepala ASIS, mengusulkan agar mendekati Portugal untuk menggunakan Timor-Timur sebagai pangkalan komunikasi dan sekaligus pangkalan untuk menjajagi keadaan di Ambon dan kepulauan Maluku. Akan tetapi usul ini ditolak oleh Sir Robert Scott, United Kingdom High Commissioner for Asia Tenggara. Akan tetapi sebaliknya Casey berpendapat: “bahwa pendekatan ini adalah cara Australia, mungkin dapat membantu atau paling sedikit dapat mebuat kekacauan umum dan pesan kepada Tange agar mengadakan komunikasi. Kalau diamati usul Casey kepada sekutunya dan saran dari orang CIA kepada Simbolon nampak ada persamaannya, walaupun tidak serupa, tetapi isi dan maknanya tidak berbeda. Dengan kata lain Casey telah betul-betul mendukung sepenuh hatinya terhadap aktivitas AS dan Inggris dalam menjalankan segala cara untuk menjatuhkan pemerintah Jakarta.
Keberhasilan gerak cepat pasukan pemerintah Jakarta yang dapat merebut satu demi satu kota-kota di daerah PRRI yang kebanyakan tanpa menemukan perlawanan, kesemuanya ini menyebabkan kekecewaan orang-orang CIA yang berada di Sumatera. Kekecewaan CIA ini menyebabkan penghentian pengiriman bantuan persenjataan. Apa yang dialami PRRI di Sumatera juga sama dialami oleh Permesta di Sulawesi berupa penghentian segala macam bantuan setelah tertembaknya dan ditawannya Allen Pope, seorang pilot angkatan udara AS yang diperbantukan kepada angkatan udara revolusioner (AUREV). Kecepatan tentara Jakarta juga sangat mengejutkan para petinggi ketiga Negara, Dulles (AS), Lloyd (Inggris) dan Casey (Australia), bahkan ketika tanggal 12 Maret 1958, bombers and fighters RI menggempur Pekanbaru dan pasukan paying mulai mendarat di lapangan terbang serta mulai masuk kota, maka hari berikutnya Dulles memberi tahu Casey dan Lloyd bahwa operasi tentara Indonesia lebih efisien dan dilakukan lebih baik dari pada yang kita harapkan. Dukungan AS, Inggris dan Australia kepada pemberontak, dan pengiriman-pengiriman senjata secara rahasia kepada kaum pemberontak, tampaknya tidak cukup bagi kaum pemberontak, baik yang ada di Sumatera maupun yang ada di Sulawesi untuk menguasai wilayah tertentu yang memadai guna mendapatkan pengakuan luar negeri. Bahkan ketika PRRI menghimbau kepada bank-bank di luar negeri untuk membekukan dana pemerintah RI yang diperoleh dari penerimaan ekspor minyak Caltex milik swasta AS. Permintaan ini tidak ditanggapi oleh Caltex dan Caltex terus membayar royalty kepada RI.
Bantuan dan simpati AS, Inggris dan Australia terhadap pemberontakan mempunyai dampak yang sangat luas. Tindakan ketiga negara tersebut membangkitkan perasaan anti-Barat di Jakarta. Pengiriman armada angkatan laut AS yang bertujuan untuk melindungi instalasi minyak dan menyediakan angkutan bagi warga sipil hanya membuat Indonesia lebih yakin lagi bahwa AS beserta sekutu-sekutunya terlibat dalam usaha-usaha memecah belah kesatuan wilayah RI. Ketika pemberontakan daerah dengan cepat dapat dipadamkan oleh pemerintah pusat, maka tampak pemerintah AS beserta sekutu-sekutunya menyampaikan pemberian bantuan lebih lanjut kepada pemberontak, apalagi setelah tertangkapnya seorang bekas perwira AU AS yang ikut serta dalam suatu serangan pemboman atas pelabuhan Ambon dan di tempat jatuhnya pada pertengahan bulan Mei 1958. Tepatnya pada tanggal 18 Mei, Ambon diserang pesawat tidak dikenal, yang berhasil ditembak jatuh. Penerbangannya yang loncat dari pesawat dan terjun berhasil ditangkap, ia bernama Allen Pope berkebangsaan AS. Atas tuduhan yang dilontarkan ke arah pihak AS, maka Dulles pada bulan Mei 1958 menyatakan bahwa pemerintahan AS tidak yakin ada orang-orang Amerika yang terlibat perang saudara di Indonesia. Selanjutnya ia menyatakan mungkin saja ada orang-orang Amerika yang melibatkan diri dalam usaha semacam itu, mungkin juga ada orang Amerika yang menerbangkan peralatan perang Rusia ke Yaman. Akan tetapi yang jelas pemerintah tidak dapat mengawasi mereka dan tidak mempunyai kewajiban hukum terhadap orang-orang tersebut. Sebetulnya jauh sebelum tertangkapnya Allen Pope tertanggal 18 Mei 1958, pada tanggal 13 Maret 1958 Dulles memberitahukan yang berikut ini kepada Casey dan Lloyd. Nampaknya diskusi-diskusi antara Dulles, Lloyd dan Casey untuk mempergunakan kapal terbang Australia, betul-betul merisaukan Sir Phillips McBride, menteri pertahanan Australia, dan ia menyatakan kekhawatirannya.
Pada tanggal 14 Maret 1958, surat kabar harian Indonesia, Bintang Timur, yang terbit di Jakarta memberitahukan bahwa sebuah pesawat terbang dengan tanda-tanda RAAF mengedrop peralatan senjata, termasuk bazooka, untuk pemberontakan di Pekanbaru. Menurut Kol. Simbolon atas dasar pertemuan rahasia yang diadakan di Singapura dengan CIA maka kemudian dilaksanakan pengiriman senjata pertama melalui kapal laut dan dapat berjalan dengan baik. Pengiriman senjata itu diusul lagi melalui dua kali penerjunan dari udara di Bandar Udara Tabing (Padang), sehingga semuanya mencukupi untuk mempersenjatai 8000 orang. Sebagian dari senjata itu dikirim oleh Simbolon ke Tapanuli untuk melengkapi persenjataan pasukan Mayor Sinta Pohan dan sebanyak 300 pucuk dikirim kepada Daud Beureuh Aceh. Sebagian lagi direncanakan akan dikirimkan untuk melengkapi persenjataan Kapten Mayor Nawawi di Bengkulu dan Kol. Zulkifli Lubis di Perbatasan Sumatera Barat  dan Jambi, tetapi tidak dapat dilakukan karena  kesulitan angkutan. Kalau disimak dengan seksama kegiatan-kegiatan diskusi antara tiga pemerintah di Manila antara Amerika Serikat, Inggris dan Australia serta penjelasan Kol. Simbolon sebagai menlu pemberontakan PRRI tentang penerimaan senjata baik melalui laut maupun dropping dari udara,membuktikan bahwa apa yang dibicarakan oleh tiga negara tersebut telah dilaksanakan dan diwujudkan di lapangan khususnya din Sumatera. Oleh karena itu kekhawatiran menteri pertahanan Australia dapat dimengerti walaupun barangkali bukan pesawat Australia yang dipergunakan untuk pengedropan senjata untuk pemberontak, tetapi pesawat-pesawat.
Simbolon juga menjelaskan bahwa ketika pasukan pusat RI yang dipimpin oleh Kol. Yani menyerang pada bulan April 1958, agen-agen CIA mengusulkan kepadanya bahwa pasukan PRRI harus mempertahankan daerah de facto PRRI, minimal Sumatera Barat, supaya ada daerah yang mereka akui sebagai daerah yang namanya “daerah de facto kekuasaan pemberontak”. Di pihak lain, Foster Dulles memberitahukan duta besat Inggris pada tanggal 13 April 1958 bahwa ia, Allen Dulles dan gabungan kepala staf telah menyetujui untuk mempersiapkan langkah-langkah yang lebih bersifat terbuka. Ia mengutip tiga kemungkinan untuk dipelajari:
1)      Pengakuan keadaan peperangan kalau pemerintah gagal menghalau para pemberontak ke gunung;
2)      Pemisahan PRRI, diikuti dengan pengakuan Amerika Serikat dan menjamin akan kemerdekaannya; dan
3)      Kemungkinan akan terjadi kerusakan begitu besar terhadap milik AS, sehingga pasukan AS harus dikirim masuk.

Akan tetapi duta besar Inggris menyarankan pendekatan lain, yaitu membuka celah-celah di pihak pemerintah pusat, melalui pendekatan kepada Jenderal Nasution. Akan tetapi Dulles menyatakan pendekatan semacam ini menyangsikan. Ketika para pejabat tinggi AS terlibat diskusi tentang kebijakan yang akan mereka ambil, di lain tempat tentara Indonesia pusat sedang mematahkan perlawanan terorganisasi dari para pemberontak di Sumatera. Dan, pada tanggal 17 April 1958 suatu serangan dari laut, udara dan darat berhasil merebut pelabuhan utama PRRI Padang, hanya dalam beberapa pertempuran. Pada tanggal 4 Mei ibu kota pemberontak, Bukittinggi dapat diduduki tentara pusat. Para pemimpin PRRI melarikan diri ke hutan, sehingga kepemimpinan pemberontakan beralih ke kelompok Permesta di Manado, Sulawesi Utara. Akibat direbutnya Padang oleh tentara pusat dari tangan pemberontak, maka gabungan kepala staf AS merekomendasikan agar “suatu pendekatan kepada Jenderal Nasution diteliti kembali”. Foster Dulles, Allen Dulles dan Laksamana Burke dari gabungan kepala staf sepakat untuk memberikan respon yang positif terhadap permohonan bantuan peralatan militer dari Indonesia, segera setelah penyelesaian politik dengan para pemberontak tercapai. Bentrokan senjata di Sumatera nampak hanya tinggal kegiatan gerilya tingkat rendah, oleh karena itu pimpinan Indonesia mengalihkan perhatiannya kepada pasukan-pasukan permesta di Sulawesi Utara. Di Sulawesi Utara para pemberontak mampu membangun suatu angkatan udara, dan mulai melakukan pemboman posisi-posisi pemerintah pusat di sebelah selatan. Kaum pemberontak berhasil memperluas serangan-serangan udaranya ke sebagian besar Indonesia dan mampu merebut lapangan udara yang cukup besar dari peninggalan PD II di Pulau Morotai pada akhir April. Pada tanggal 18 Mei, pesawat terbang pemberontak melakukan serangan ke Ambon, pelabuhan utama dan ibu kota pelabuhan Kepulauan Maluku. Serangan udara ini ternyata menjadi sebab malapetaka bagi operasi rahasia Dulles bersaudara, karena hal ini secara luas memberikan bukti tentang keterlibatan AS.
Kejadian-kejadian seperti tersebut di atas berakibat Indonesia semakin yakin keterlibatan dan sekutu-sekutunya (termasuk Australia) dalam pemberontakan daerah, dan marah atas sikap AS yang mendua, namun demikian Indonesia kelihatannya mempunyai pandangan yang pragmatis untukmengetahui bahwa kemarahan tidak dapat menyelesaikan persoalan, yang terpenting adalah usaha menghentikan usaha AS beserta sekutu-sekutunya membantu pemberontakan tersebut. Duta besar AS di Jakarta, Jones, sendiri merasa dalam posisi yang serba salah sebagai dari akibat dari pernyataan-pernyataan resmi pemerintah AS yang saling bertentangan. Di kemudian hari Jones, setelah tidak menjadi duta besar,ia menulis dalam bukunya bahwa sebetulnya dia tahu bahwa AS dan para sekutunya memihak kaum pemberontak. (Soebadio, 2002: 264)











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Pemberontakan PRRI/Permesta, pada tahun 1958. Penyebabnya adalah adanya ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah dalam pembangunan daerah. Tidak meratanya pembangunan serta semakin melebarnya gerakan komunisme menjadi dasar bagi pemerintah daerah di Sumatera dan Sulawesi Utara untuk mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta atau lebih dikenal sebagai PRRI/Permesta. Mereka merasa bahwa pemerintah terlalu bersifat sentarlis dan banyak berorientasi kepada pusat, yaitu Jakarta dan kepentingan orang Pulau Jawa.
Politik internasional, khususnya berkecamuknya Perang dingin antara blok Barat dan blok Timur, yang masing-masing blok memperebutkan pengaruh terhadap negara-negara di Asia-Afrika untuk membangun kekuatan di dunia yang dapat mendukung tercapainya cita-cita mereka, juga ikut serta menjadi penyebab timbulnya pemberontakan di Indonesia. Masing-masing ingin agar Indonesia ada di pihaknya, sekurang-kurangnya Indonesia tidak berpihak pada blok lawan.
Ketika pergolakan daerah Sumatera dan Sulawesi Utara mulai menentang pemerintahan pusat, dan Sumitro memihak pihak pemberontak, maka Sumitro ditugaskan oleh pemberontak untuk melobi negara-negara lain guna mendapat bantuan baik bantuan material maupun bantuan moril. Pertama, Sumitro mendekati Critchley di ibu kota Malaysia, dimana Critchley pada waktu itu sebagai Australian High Commissioner di negara tersebut. Beberapa laporan Critchley menunjukkan bahwa Australia telah lama mengadakan hubungan dengan kaum pemberontak di Indonesia dan mengadakan pembicaraan-pembicaraan yang mengarah kepada dukungan Australia terhadap pemberontakan di indonesia. Keterlibatan Australia terhadap pemberontakan PRRI/Permesta nampaknya bukan hanya berupa simpati tetapi Australia sesungguhnya memberikan bantuan peralatan perang dan fasilitas-fasilitas lain. Kalau dipelajari dengan seksama, dokumen-dokumen yang ada di Australia Archives yang disimpan di Canberra, menunjukkan bahwa politik Australia terhadap pemberontakan dalam negeri Indonesia antara ucapan di muka umum dan tindakan pemerintah Australia sangat berbeda. Keterlibatan Australia dalam membantu PRRI/Permesta pada satu sisi harus mendukung Inggris dan AS sebagai negara protektornya. Sedangkan, pada sisi lain Australia mempunyai kepentingan sendiri, khususnya terhadap wilayah Irian Barat, dimana sejak meletusnya sengketa Irian Barat antara Belanda-Indonesia, Australia sepenuhnya mendukung Belanda atas dasar pertimbangan kepentingan keamanan benua Kangguru tersebut. Dukungan Australia terhadap Belanda mau tidak mau memerlukan dukungan keduan negara tersebut (Inggris dan AS).
Keterlibatan Australia terhadap gerakan pemberontakan PRRI/Permesta melalui proses yang dipadukan dengan keinginan Australia memperlemah kedudukan pemerintah rezim Soekarno, sehingga memperlemah tuntutan Indonesia terhadap wilayah Irian Barat, disamping itu kepentingan Australia sendiri dalam rangka mendukung politik pembendungan komunisme yang diprakarsai oleh AS. Bantuan dan simpati AS, Inggris dan Australia terhadap pemberontakan mempunyai dampak yang sangat luas. Tindakan ketiga negara tersebut membangkitkan perasaan anti-Barat di Jakarta. Kejadian-kejadian seperti tersebut di atas berakibat Indonesia semakin yakin keterlibatan dan sekutu-sekutunya (termasuk Australia) dalam pemberontakan daerah, dan marah atas sikap AS yang mendua, namun demikian Indonesia kelihatannya mempunyai pandangan yang pragmatis untukmengetahui bahwa kemarahan tidak dapat menyelesaikan persoalan, yang terpenting adalah usaha menghentikan usaha AS beserta sekutu-sekutunya membantu pemberontakan tersebut. Duta besar AS di Jakarta, Jones, sendiri merasa dalam posisi yang serba salah sebagai dari akibat dari pernyataan-pernyataan resmi pemerintah AS yang saling bertentangan. Di kemudian hari Jones, setelah tidak menjadi duta besar,ia menulis dalam bukunya bahwa sebetulnya dia tahu bahwa AS dan para sekutunya memihak kaum pemberontak.
















DAFTAR RUJUKAN

Adam, Asvi Warman. 2009. Penelusuran Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Harvey, Barbara Sillars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakar dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta: PT. Pustaka Utama Garfiti.

Onghokham. 2009. Sukarno (Orang Kiri, Revolusi dan G30S 1965). Jakarta: Komunitas Bambu.

Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Soebadio, Hadi. 2002. Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dingin” diakses pada tanggal 11 Mei 2009  jam 09.15






























1 komentar:

  1. Casino Games Archives - DRMCD
    We have over 7000 games available in our collection, but the 제주 출장안마 majority of them feature a mix of unique game 영주 출장마사지 genres and a 충청북도 출장안마 few unique ‎All Games · ‎Slots · ‎Dice Games 과천 출장안마 · m w88 ‎Game

    BalasHapus