DINAMIKA MUHAMMADIYAH
DI YOGYAKARTA TAHUN 1914-1942
SEBAGAI ORGANISASI MASYARAKAT (ORMAS) ISLAM
PADA BIDANG PENDIDIKAN
Oleh:
Riezky Ema Ismono
(307832410465)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PRODI ILMU SEJARAH
Desember 2010
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kemudahan transportasi dan komunikasi meningkatkan frekuensi dan volume orang naik haji di Nusantara. Suatu proses yang telah berlangsung sejak bagian kedua abad-19. Agama sebagai dampaknya terwujud dalam pertumbuhan pesantren dan tarekat. Gerakan-gerakan sebagai tindakan kolektif yang reaktif terhadap kehadiran kekuasaan kolonial beserta proses westernisasi ataupun modernisasi yang menyertai itu, kesemuanya bersifat tradisionalistik. Mengingat konteks sosio-kultural dimana gerakan-gerakan itu terjadi, yaitu bersifat pedesaan, komunal dan tertutup. Sikap reaktif di lingkungan umat Islam dalam menghadapi peradaban sosial dalam abad ke-20, terutama seperti manifestasinya di kota-kota, menciptakan gerakan-gerakan dan lembaga-lembaga yang berlainan sekali sifatnya yang lazim disebut modernis. Perbedaan itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti gerakan modernis di Timur Tengah sendiri, terbentuknya organisasi-organisasi modern di kalangan lain, lembaga-lembaga modern yang berfungsi secara efektif dan lain sebagainya.[1] Salah satu organisasi Islam Modernis yang penting di Indonesia adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Yogyakarta. Pada mulanya Muhammadiyah hanya berkembang secara lamban. Organisasi ini ditentang atau diabaikan oleh para pejabat, guru-guru Islam gaya lama di desa-desa, hierarki-hierarki yang diakui oleh pemerintah, dan oleh komunitas-komunitas orang saleh yang menolak ide-ide Islam modernis. Dalam rangka menjalankan upaya-upaya pemurniannya, Muhammadiyah mengundang banyak permusuhan dan kebencian dari komunitas agama di Jawa.[2]
Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan yang didirikan atas cita-cita Islam. Karenanya Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang berusaha membersihkan ajaran islam dari pengaruh non-Islam, selain berupaya menghidupkan kembali kesadaran di kalangan umat Islam untuk kembali kepada kepercayaan yang benar berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Gerakan tersebut diaktualisasikan dengan melakukan dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar dengan dua tekanan sekaligus. Kepada yang telah memeluk agama Islam, dakwah Muhammadiyah bersifat pembaharuan, yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran Islam murni. Sedangkan kepada selain pemeluk islam, dakwah Muhammadiyah bersifat seruan untuk membangun kerja sama yang didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan universal. Di samping itu, dakwah kepada masyarakat juga diarahkan untuk melakukan bimbingan dan perbaikan.[3] Apresiasi sejarah terhadap Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan oleh faktor besarnya partisipasi organisasi ini dalam dunia pendidikan. Partisipasi Muhammadiyah dalam memperkuat bangsa ini dalam konteks Pendidikan dimulai sejak Muhammadiyah lahir pada tahun 1912. Hal ini mengingat salah satu faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah adalah adanya realitas obyektif yang menunjukkan kondisi pendidikan bangsa ini di awal abad 20-an cukup memprihatinkan alias tertinggal. Dapat di jelaskan setidaknya salah satu problem yang dihadapi umat Islam pada fase awal abad ke-20 adalah adanya kemunduran Islam yang berpusat di pondok pesantren karena terisolasi dari perkembangan ilmu dan masyarakat modern. Faktor ini terkonfirmasi bahwa salah satu yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah adalah realitas sosial-pendidikan di Indonesia. Latar sejarah lahirnya Muhammadiyah ini perlu diungkap untuk mempertegas bahwa kontribusi Muhammadiyah kepada bangsa ini, khususnya dalam dunia pendidikan tidaklah sedikit.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Masalah pendidikan dan pengajaran menjadi perhatian utama dari Muhammadiyah. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah mengadakan pembaruan pendidikan agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan dijalankan dengan menukar sistem pondok pesantren dengan pendidikan modern sesuai dengan tuntutan dan kehendak jaman. Pengajaran agama Islam diberikan di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah selalu mengikuti stelsel pengajaran pemerintah Hindia Belanda.[4]
Semenjak Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923, dan kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh KH. Ibrahim, perdebatan di bidang politik dengan organisasi yang bergerak di bidang sosial-keagamaan semakin memuncak. Meskipun ditengah pergolakan itu Muhammadiyah tetap mampu mengembangkan organisasi, akan tetapi perbedaan orientasi dan persepsi mulai mewarnai kehidupan organisasi. Benturan internal dialami dalam kepemimpinan KH. Ibrahim terkait dengan adanya dugaan penerimaan “dana haram” sekaligus menjadi “kaki tangan” dari pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa penjajahan, sesuai dengan misi kolonialisme, pendidikan Islam begitu dianaktirikan. Pendidikan Islam dikategorikan sebagai sekolah liar, bahkan pemerintah kolonial telah memproduk peraturan-peraturan yang membatasi, atau justru mematikan sekolah-sekolah patikelir, termasuk madrasah dengan mengeluarkan peraturan yang disebut Ordonansi Sekolah Liar atau “Wilde Schoolen Ordonnantie”. Ordonansi Sekolah Liar adalah sebuah peraturan perundangan dari pemerintah kolonial Belanda yang dikeluarkan pada tahun 1933, yang intinya melarang adanya perguruan atau sekolah di Hindia Belanda yang didirikan atau diselengggarakan oleh siapa pun yang tidak didukung dengan tenaga pengajar yang berijazah guru yang resmi diakui oleh pemerintah Belanda. Muhammadiyah melihat peraturan tersebut di samping memiliki motif untuk menghancurkan perjuangan bangsa Indonesia di bidang pendidikan dan pengajaran. Sebagai organisasi yang peduli terhadap bidang pendidikan, Muhammadiyah mengambil sikap tegas melalui Sidang Tamwir. Pada akhirnya, ternyata Muhammadiyah mampu menyelesaikan masalah di atas, dengan beberapa kompromi. Misalnya, Muhammadiyah harus menyesuaikan kurikulum pendidikannya (dalam mata pelajaran umum) dengan kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan Muhammadiyah juga harus menyesuaikan standar pelayanan sebagaimana yang resmi berlaku. Dan sejak tahun 1930-an, di bawah pimpinan Kiai Hisyam, Muhammadiyah mengalami kemajuan pesat di bidang pendidikan dan sosial lainnya.
Tanpa melihat kenapa peran dan kontribusi Muhammadiyah di bidang pendidikan dan pengajaran sangat besar sekali terhadap kemajuan bangsa Indonesia, maka penulis sangat tertarik untuk mengambil judul “Dinamika Muhammadiyah di Yogyakarta Tahun 1914-1942 Sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam pada Bidang Pendidikan” sebagai dasar penelitian. Ada beberapa pertimbangan yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap hal tersebut, salah satu yang paling mendasar apabila melihat dari periodesasi yang pada masa penjajahan kolonial Belanda adalah karena pada itu Muhammadiya mendapat status badan hukum dari pemerintah kolonial Belanda yang secara legal dapat melaksanakan program-programnya, dan juga pada masa itu juga terjadi pasang-surut di tubuh Muhammadiyah sendiri baik masalah internal dan juga masalah eksternal. Dan juga mengapa penulis memilih daerah Yogyakarta, karena di kota tersebut organisasi Muhammadiyah lahir dan berkembang pada awal-awal berdirinya pada tahun 1912 sebelum menyebar ke daerah lain d luar kota Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang berdirinya Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1912?
2. Bagimana Latar Belakang, Tujuan dan Rasionalisme Muhammadiyah
dalam Bidang Pendidikan di Yogyakarta tahun 1914-1942?
3. Bagaimana bentuk perjuangan Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1914-1942 sebagai organisasi masyarakat (ormas) Islam pada bidang Pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1912.
2. Untuk mengetahui Latar Belakang, Tujuan dan Rasionalisme Muhammadiyah dalam Bidang Pendidikan di Yogyakarta tahun 1914-1942.
3. Untuk mengetahui bentuk perjuangan Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1914-1942 sebagai organisasi masyarakat (ormas) Islam pada bidang Pendidikan.
D.Manfaat Penulisan
Hasil Penulisan ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi jurusan sejarah Universitas Negeri Malang:
a. Sebagai sumber referensi dan dokumentasi yang diperlukan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama tentang penulisan sejarah Indonesia yang terkait dengan Muhammadiyah sebagai ormas islam di bidang pendidikan.
b. Hasil Penelitian ini tentunya akan menambah informasi bagi penelitian selanjutnya dan dapat menambah perbendaharaan karya ilmiah bagi lembaga terkait.
2. Bagi Penulis:
a. Melatih berfikir kritis serta mencoba melihat peristiwa sejarah yang berhubungan dengan peran Muhammadiyah di bidang pendidikan.
b. Hasil penelitian ini, penulis diharapkan mendapatkan tambahan pengetahuan tentang bidang sejarah khususnya mengenai dinamika Muhammadiyah di Yogyakarta 1912-1942 sebagai ormas Islam pada bidang pendidikan yang dapat digunakan untuk mengaplikasikan ilmu atau pengetahuan yang telah diterima selama di bangku perkuliahan yang tentunya akan sangat berguna bagi penulis di kemudian hari.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk menghindari terjadinya kerancuan dalam penginterpretasian dalam pembahan masalah, diperlukan pembahasan lingkup penelitian yang mencakup:
1. Skop Temporal
Skop temporal dalam penulisan ini adalah yang menjadi acuan adalah kondisi Muhammadiyah pada awal-awal berdiri, dimana pada awal-awal berdiri perjuangan Muhammadiyah di bidang pendidikan di Yogyakarta pada tahun 1914-1942 sangat banyak menemui hambatan, baik dari dalam tubuh Muhammadiyah sendiri dan juga dari luar, utamanya pertentangan dengan pemerintah Belanda, karena pada waktu itu Indonesia masih dalam cengkraman penjajahan Belanda.
2. Skop Spasial
Skop spasial dalam penulisan ini menujukkan pada tempat atau daerah yang menjadi obyek penelitian dan fokus penelitian yaitu wilayah Yogyakarta sebagai tempat lahir dan beerkembangannya gerakan modern Islam yaitu Muhammadiyah. Dengan batasan tempat seperti ini menyebabkan kemudahan untuk mempelajari secara mendalam sehingga memberikan hasil yang akurat.
F. Difinisi Istilah
Dinamika: Menurut kamus Bahas Indonesia Kontemporer karya Peter Salim. Dinamika adalah studi tentang gerak hal-hal yang menyebabkan terjadinya gerak tertentu. Diartikan juga sebagai perubahan dalam kehidupan segolongan masyarakat yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan. (Salim, 2002: 251)
Pendidikan: Pendidikan adalah upaya memajukan tumbuhnya intelektual dan budi pekerti untuk memajukan kesempurnaan hidup. Pendidikan sebagai usaha manusia yang disengaja untuk memimpin angkatan muda untuk mencapai kedewasaan dan meningkatkan kesejahteraannya berada dalam suatu lingkungan kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa, dan budi manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Dikatakan bahwa pendidikan merupakan refleksi dari budaya. Pendidikan dan kebudayaan memiliki kaitan yang sangat erat dalam mendidik anak untuk membentuk kepribadiannya. (Yunikasari, 2006: 12)
G. Kajian Pustaka
1. Muhammadiyah: Gerakan Transformasi Sosial
Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan yang didirikan didasarkan atas cita-cita Islam. Karenanya, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang berusaha membersihkan ajaran Islam dari pengaruh non-Islam, selain berupaya menghidupkan kembali kesadaran di kalangan umat Islam untuk kembali kepada kepercayaan yang benar berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Gerakan tersebut diaktualisasikan dengan melakukan dakwah Islam dan amar akruf nahi munkar. Pandangan umum yang dianut para pengamat mengatakan bahwa Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi sosial-keagamaan yang didirikan untuk menyelaraskan agama Islam dalam struktur masyarakat modern di Indonesia. Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang sejak awal masa pertumbuhannya tampak berhati-hati dalam bersikap dam lebih luwes dalam menghadapi dinamika sosial-politik dibandingkan dengan gerakan Islam lainnya di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah melakukan beberapa gerakan pembaharuan. Di bidang pendidikan, misalnya, Muhammadiyah mendirikan sekolah model Belanda dengan memasukkan kurikulum pendidikan agama Islam, seperti HIS met de Quran. Untuk meningkatkan kesejahteraan umat, Muhammadiyah mendirikan rumah sakit, balai pelayanan kesehatanm panti asuhan, panti jompo, pendidikan kepanduan, dan sebagainya. Gerakan pembaruan ini banyak mengadopsi model yang di pakai Belanda dan misionaris Kristen dalam mengelola lembaga sosialnya.[5]
2. Paradigma Pendidikan Muhammadiyah
Dengan mempertimbangkan basis filosofi keislaman Muhammadiyah dan metodologi pembaruan pemikiran keagamaan Islam serta mencermati etos, elan vital dan gerak persyarikatan Muhammadiyah selama hampir 100 tahun di tanah air, disini penulis mencoba melihat secara tentative adanya empat ruh atau jiwa yang berhasil membangun paradigm pendidikan sebagaimana dikembangkan oleh Muhammadiyah selama ini. Idealnya keempat paradigm tersebut menyatu dalam gerak persyarikatan dan praktik para pengelola pendidikan di lapangan, tetapi tampaknya Muhammadiyah kurang begitu menyadari paradigma mana yang sedang mereka lakukan.[6] Keempat paradigma tersebut adalah: (1) Paradigma kritis-hermeneutis; (2) paradigma esensialis-perenialis; (3) paradigm rekontruksionisme; (4) paradigm progresif.
3. Postmodernisme Pendidikan
Suatu cita-cita yang terabaikan dan kebutuhan untuk menyusun penyelenggaraan pendidikan ideologis terhambat oleh pandangan cara berfikir dalam bidang pendidikan. Pendidikan postmodern menekankan pada ultra-pluralisme dalam memandang masalah pendidikan, pertama-tama dengan melakukan kritik terhadap pola pendidikan ideologis yang cenderung doktriner. Manfaat pendekatan postmodernisme dalam pendidikan adalah rekomendasi tentang perlunya suatu pembelajaran yang membuat para pendidik menemukan makna kehidupannya. Idealisme kebebasan dalam proses belajar mengajar membuat metode postmodernisme mendapatkan penerimaan yang luas di kalangan pengamat dan pelaksana pendidikan. Postmodernisme menginginkan proses pendidikan yang menyenangkan dan “membebaskan”, tetapi pembebasan bukanlah cita-cita dari proses pendidikan yang dijalankan secara terencana dan komprehensif dan holistic sebagai uapaya yang bertujuan mengarahkan proses pendidikan sebagai pencerahan dan penyadaran agar peserta didik dan seluruh elemen pembelajaran dapat diarahkan pada perjuangan yang lebih besar, naionalistik, dan melawan kontradiksi pokok yang menjadi pembelenggu kehidupan manusia.[7]
4. Filosofi Pendidikan Muhammadiyah
Dalam perspektif yang luas, awal berdirinya Muhammadiyah sebenarnya didorong oleh “kegelisahan” dan “keprihatinan” yang mendalam terhadap model dakwah dan pola pemahaman keagamaan Islam yang berlaku pada saat itu. Nyatanya, hampir seluruh bangsa Muslim di dunia pada saat itu hidup dalam cengkraman kolonialisme. Begitu juga Muhammadiyah yang tidak puas dan sekaligus gelisah melihat kenyataan pendidikan Islam di lapangan. Oleh Muhammadiyah, kecermatan dan titik tekan pada sisi psikis sosial tersebut dibarengi pula dengan kesadaran akan perlunya kelembagaan atau organisasi yang kuat. Dalam rangka mendidik dan menyiapkan sumber daya manusia yang andal dalam berbagai bidang, Muhammadiyah berupaya untuk mengubah kelembagaan pendidikan dan keilmuan model pesantren in the old sense menjadi kelembagaan pendidikan dan keilmuan model sekolah “umum” dan “agama” yang digabungkan dalam satu atap. Sebuah eksperimen sejarah yang relatif berani dan radikal untuk ukuran saat itu.
Pendidikan adalah upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kualitas yang ditingkatkan menyangkut 3 dimensi, yaitu dimensi ekonomi, dimensi budaya dan dimensi spiritual (iman dan takwa). Upaya pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan juga mengacu pada pengembangan nilai tambah dari 3 dimensi tersebut. Pendidikan sebagai proses pengembangan manusia secara makro meliputi proses-proses: pembudayaan, yaitu proses transformasi nilai-nilai budaya yang mengangkut nilai-nilai etis, estetis, dan budaya, serta wawasan kebangsaan dalam rangka terbinanya manusia berbudaya.[8]
H. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang sejenis dengan tema topik penelitian saya ini adalah skripsi saudara Luluk Mursyidah, Mahasiswa Ilmu Sejarah 2005 UM yang berjudul “Dinamika Pendidikan Menengah Atas Muhammadiyah 1 Di Kota Malang Tahun 1951-1997”. Dalam skripsi tersebut yang di bahas adalah awal berdirinya pendidikan menengah atas muhammadiyah 1, perkembangan sekolah menengah atas (SMA) muhammadiyah 1 di Malang tahun 1951-1997 dan pola pendidikan dan pengajaran sekolah menengah atas (SMA) muhammadiyah 1 kota Malang tahun 1951-1997.
I. Metode Penulisan
Metode penulisan berkaitan dengan masalah bagaimana orang memperoleh pengetahuan. Ilmu sejarah sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, juga mempunyai unsur yang merupakan alat untuk mengorganisasi seluruh tubuh pengetahuannya serta merekonstruksi pikiran, yaitu metode sejarah. Dengan metode sejarah, seorang sejarawan diharapkan mampu melakukan proses uji dan analisa yang dilakukan secara kritis terhadap rekaman dan peninggalan masa lampau. Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang bersifaf ilmiah dan bukan hasil penulisan yang didasarkan pada penulisan semata.
a.Pemilihan Topik
Disini peneliti mengambil topi tentang “Dinamika Muhammadiyah Sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam di Bidang Pendidikan di Kota Yogyakarta Tahun 1914-1942”. Adapun pertimbangan peneliti untuk mengangkat topik tersebut terletak pada kedekatan emosional dan intelektual terhadap masalah tersebut. Kedekatan emosional peneliti yang berkaitan dengan kesenangan peneliti membaca buku-buku yang berkaitan dengan Organisasi Muhammadiyah. Sedangkan kedekatan intelektual dilandasi pertanyaan yang muncul selama peneliti mempelajari tentang peran atau kontribusi Muhammadiyah yang sangat besar pada bidang pendidikan.
b. Heuristik
Seorang sejarawan yang melakukan penelitian terhadap sebuah peristiwa sejarah pada umumnya tidaklah berangkat dari nol, melainkan memerlukan sumber atau buku rujukan yang dipakai sebagai sumber landasan untuk mengembangkan obyek yang di teliti. Pada penelitian ini, prosedur heuristik telah ditetapkan semenjak peneliti memutuskan untuk mengangkat topik ini sebagai judul penelitian.
c. Kritik
Dalam melakuan proses verifikas dengan cara pengujian terhadap sumber maka dilakukan suatu kritik terhadap sumber tersebut. Dalam proses kritik tersebut dibagi menjadi 2 yaitu, kritik ekstern dan intern.
a. Kritik Ekstern
Kritik ekstern merupakan suatu cara yang di tempuh oleh seorang sejarawan ketika bahan sumber berhasil ditemukan. Disini peneliti tidak menemui kesulitan, karena sumber yang dipakai adalah buku yang merupakan (sumber sekunder).
b. Kritik Intern
Kritik Intern merupakan suatu cara yang ditempuh oleh sejarawan dalam meneliti isi dari sumber sejarah yang telah ditemukan dimana dibutuhkan penguasaan terhadap topik yang diteliti dengan memadai. Hal ini dilakukan karena dengan cara inilah seorang sejarawan akan cepat menentukan apakah sumber yang telah diperoleh tersebut relevan, dan disini penulis menganggap sumber-sumber data yang telah di peroleh dianggap sudah relevan.
d. Interpretasi
Penjelajahan terhadap buku dan sumber lainnya yang ada menyebabkan munculnya penafsiran-penafsiran baru terhadap sumber tertulis yang menyangkut arti dan suasana yang terdapat didalamnya. Kuntowijoyo mengatakan bahwa interpretasi merupakan biang dari subjektivitas.
e. Historiografi
Ketika seorang sejarawan memasuki tahap penulisan, maka ia menggerakkan daya pikirnya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisa yang utuh. Disini peneliti menggunakan prinsip kronologis, dimana dalam merangkai fakta-fakta dalam sebuah tulisan, aspek urutan waktu menjadi titik tekan utama. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulisan dan menghasilkan kisah yang dapat dipahami berdasarkan urutan peristiwa. Dan juga menekankan aspek sistematis dalam penyusunan rangkaian fakta. Prinsip ini juga diterapkan agar mudah memahami.
J. Sistematika Penulisan
Penulisan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
(a) Latar Belakang,
(b) Rumusan Masalah,
(c) Tujuan Penulisan,
(d) Manfaat Penulisan,
(e) Ruang Lingkup Penulisan
(f) Definisi Istilah,
(g) Kajian Pustaka,
(h) Penelitian Terdahulu,
(i) Metode Penulisan dan
(j) Sistematika Penulisan.
BAB II Gerakan Pembaharuan di Dunia Islam
A. Setting Historis
B. . Pengertian Pembaharuan (Modernisasi, Tajdid)
C. Sejarah Munculnya Ide Pembaharuan Dalam Islam
BAB III Peran Muhammadiyah dalam Bidang Pendidikan di Yogyakarta tahun 1914-1942
A. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
B. Tujuan Berdirinya Muhammadiyah
C. Rasionalisme Dalam Bidang Pendidikan
BAB IV Dinamika Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1914-1942 sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam di Bidang Pendidikan.
A. Muhammadiyah Masa Ahmad Dahlan
B. Muhammadiyah Pada Masa Penjajahan Belanda
BAB V Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Rujukan
[1] Kartodirjo, Sartono.1987.Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal 117.
[2] Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, hal 368-369.
[3] Sazali. 2005. Muhammadiyah dan Masyarakat Madani (Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme). Jakarta: PSAP, hal 69.
[4] Anshoriy, Nasruddin. 2010. Matahari Pembaharuan: Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Galangpress, hal 110.
[5] Ibid., s. 68-72
[6] Amin Abdullah, M. 2005. Pendidikan Agama Era Multikultural -Multireligius. Jakarta: PSAP, hal 167-168.
[7] Soyomukti, Nuraini. 2008. Metode pendidikan Marxis Sosialis. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, hal 31-32
[8] Salman, Ismah. 2005. Keluarga Sakinah Dalam Aisyiyah: Diskursus Jender di Organisasi Perempuan Muhammadiyah. Jakarta: PSAP, hal 181.
BAB II
Gerakan Pembaharuan di Dunia Islam
A. Setting Historis
Kota Yogyakarta terletak di lembah tiga sungai, yaitu Sungai Winongo, Sungai Code (yang membelah kota dan kebudayaan menjadi dua), dan Sungai Gajahwong. Kota ini terletak pada jarak 600 KM dari Jakarta, 116 KM dari Semarang, dan 65 KM dari Surakarta, pada jalur persimpangan Bandung - Semarang - Surabaya - Pacitan. Kota ini memiliki ketinggian sekitar 112 m dpl. Meski terletak di lembah, kota ini jarang mengalami banjir karena sistem drainase yang tertata rapi yang dibangun oleh pemerintah kolonial, ditambah dengan giatnya penambahan saluran air yang dikerjakan oleh Pemkot Yogyakarta. Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan di sekitarnya, sehingga batas-batas administrasi sudah tidak terlalu menonjol. Untuk menjaga keberlangsungan pengembangan kawasan ini, dibentuklah sekretariat bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul) yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan kawasan aglomerasi Yogyakarta dan daerah-daerah penyangga (Depok, Mlati, Gamping, Kasihan, Sewon, dan Banguntapan). Adapun batas-batas administratif Yogyakarta adalah:
- Utara: Kecamatan Mlati dan Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman
- Timur: Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul
- Selatan: Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Sewon, dan Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul
- Barat: Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul.
Sejarah kota memasuki babak baru menyusul ditandatanganinya Perjanjian Giyanti antara Sunan Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi (yang dinobatkan menjadi Sultan Hamengkubuwono I, dan VOC pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini membagi dua Mataram menjadi Mataram Timur (yang dinamakan Surakarta) dan Mataram Barat (yang kemudian dinamakan Ngayogyakarta). Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan politik baru secara resmi berdiri sejak Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) mengakhiri pemberontakan yang dipimpinnya, mendapat wilayah kekuasaan separuh wilayah Mataram yang tersisa, dan diizinkan mendirikan keraton di tempat yang dikenal sekarang. Tanggal wisuda keraton ini, 7 Oktober 1756, kini dijadikan sebagai hari jadi Kota Yogyakarta. Perluasan kota Yogyakarta berjalan secara cepat. Perkampungan-perkampungan di luar tembok keraton dinamakan menurut kesatuan pasukan keraton, seperti Patangpuluhan, Bugisan, Mantrijeron, dan sebagainya. Selain itu, dibangun pula kawasan untuk orang-orang berlatar belakang non-pribumi, seperti Kotabaru untuk orang Belanda dan Pecinan untuk orang Tionghoa. Pola pengelompokan ini merupakan hal yang umum pada abad ke-19 sampai abad ke-20, sebelum berakhirnya penjajahan. Banyak di antaranya sekarang menjadi nama kecamatan di dalam wilayah kota. Terdapat situs-situs tua yang tinggal puing, khususnya yang didirikan pada masa awal tetapi kemudian diterlantarkan karena rusak akibat gempa besar yang melanda pada tahun 1812, seperti situs tetirahan Warungboto, yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwana II dan situs Taman Sari di dalam tembok keraton yang didirikan Sultan Hamengkubuwana I. Pasar Beringharjo sudah dikenal sebagai tempat transaksi dagang sejak keraton berdiri, namun bangunan permanennya baru didirikan pada awal abad ke-20 (1925). Paruh kedua abad ke-19 merupakan masa pemodernan kota. Stasiun Lempuyangan pertama dibangun dan selesai 1872. Stasiun Yogyakarta (Tugu) mulai beroperasi pada tanggal 2 Mei 1887. Yogyakarta di awal abad ke-20 merupakan kota yang cukup maju, dengan jaringan listrik, jalan untuk kereta kuda dan mobil cukup panjang, serta berbagai hotel serta pusat perbelanjaan (Jalan Malioboro dan Pasar Beringharjo) telah tersedia. Perkumpulan sepak bola lokal, PSIM, didirikan pada tanggal 5 September 1929 dengan nama Perserikatan Sepak Raga Mataram. Islam merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat Yogyakarta, dengan jumlah penganut Kristen dan Katolik yang relatif signifikan. Seperti kebanyakan dari Islam kebanyakan di kota-kota pedalaman Jawa, mayoritas masih mempertahankan tradisi Kejawen yang cukup kuat. Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya salah satu organisasi Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap berkantor pusat di Yogyakarta.
B. Pengertian Pembaharuan (Modernisasi, Tajdid)
Tajdid dalam pengertian harfiah (etimologis) berarti pembaharuan, dan pelakuknya disebut mujaddid (pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah (terminologis) tajdid berarti pembaharuan dalam dalam kehidupan dalam hidup keagamaan, baik berbentuk pemikiran maupun gerakan, sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan-tantangan internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat. Selanjutnya, bila pengertian tajdid yang dikemukakan oleh para ulama dikategorisasikan, maka terdapat dua pengertian penggunaan kata tajdid, yaitu: Pertama: tajdid dalam bidang akidah dan ibadah mahdah. Dalam bidang ini, tajdid diartikan “pemurnian” dengan jalan kembali kepada pedoman mutlak yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul (bersih dari bid’ah, syirik, khufarat dan tahayul). Kedua: tajdid dalam muamalah duniawiyah. Dalam hal ini, tajdid diartikan memperbaharui interpretasi (merumuskan kembali) ajaran Islam sehingga Islam terkesan tidak ketinggalan zaman. Dalamu ngkapan lain, tajdid berarti modernisasi (interpretasi baru) terhadap ajaran Islam.[1]
Lebih jauh, keberadaan tajdid sangat erat kaitannya dengan ijtihad.[2] Orang yang melakukan ijtihad sering disebut mujtahid. Bahwa keberadaan tajdid sangat erat kaitannya dengan ijtihad, karena ijtihad merupakan jalan yang ditempuh para mujtahid dalam upaya melakukan pembaharuan, pemurnian, purifikasi dan modernisasi. Namun demikian, istilah tajdid ini baru terdengar nyaring setelah timbul timbul pemikiran dan gerakan dalam Islam sebagai hasil dari kontak yangterjadi antara Islam yang dianggap mundur dan Barat yang dianggap maju. Dengan kata lain, istilah tajdid dikenal di kalangan umat Islam bersamaan dengan adanya gerakan pembaharuan dalam Islam pada periode modern. Namun demikian, sebelum masa itu, sebenarnya telah muncul keinginan untuk mengadakan perubahan di Syria. Keinginan itu dicetuskan oleh Ibnu Taimiyah yang gigih dalam upayanya melakukan pembaharuan dalam Islam pada paruh kedua abad ke-7 H (661-728). Dan kemudian disambut baik oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Arab Saudi (1703-1792 M).
C. Sejarah Munculnya Ide Pembaharuan Dalam Islam
Bila kita melacak sejarah pembaharuan dalam Islam, setidaknya akan kita dapati dua tokoh pembaharuan, yaitu Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin abdul Wahab.
1. Gerakan Pembaharuan Ibnu Taimiyah
Sekitar 100 tahun sesudah al-Ghazali wafat, pada paruh kedua abad ketujuh hijjriah, lahirlah Imam Ibnu Taimiyah (661-728 H). Pada masa hidupnya, dia menyaksikan serbuan tentara Tartar telah menggilas wilayah Islam sejak dari tepi sungai Indus sampai sungai Efrat dan teru bergerak maju menuju Syam di satu sisi. Sementara itu, di sisi lain, umat Islam sepeninggal al-Ghazali mengalami kemerosotan kembali yang cukup mengesankan akibat logis dari pertempuran barat dan panjang ketika menghadapi pasukan Tartar selama lima puluh tahun.[3] Dengannya umat Islam kelihatan dihantui perasaan takut dan gentar dalam sanubari mereka. Sedangkan orang-orang Tartar sendiri sekalipun kemudian mereka masuk Islam, mereka menunjukkan sikap antipati terhadap ajaran agama Islam dan bahkan kezaliman mereka semakin meninggi kualitasnya terhadap umat Islam dibandingkan dengan para pendahulunya, penguasa Turki. Ketika orang-orang Tartar berkuasa dan menanamkan pengaruhnya dikalangan umat, para ulama, fuqada (para ahli fiqih) dan para penguasa, moral dan kemerosotan umat Islam oun semakin menjadi-jadi dan bahkan jauh lebih bobbrok ketimbang masa-masa sebelumnya. Taqlid buta makin merajalela, sehingga mahzab-mahzab fiqh dan aliran teologi hampir berubah menjadi agama. Ijtihad pun berubah menjadi suatu kemaksiatan, bid’ah dan khurafat disandarkan pada hukum syara’, dan merujuk pada kitab Allah dan sunnah Rasul merupakan suatu dosa yang tidak terampunkan. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat Islam makin terjerumus pada kebodohan dan kesesatan, sedangkan para ulamanya hanya memiliki wawasan yang sempit. Para penguasanya pun lebih menampilkan diri sebagai pihak ketiga dari pada pihak pertama, pemegang kekuasaan.
Dari keadaan seperti itulah, maka Ibnu Taimiyah memberikan pemahaman bahwa ada kemungkinan besar fiqh itu akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Perubahan fiqh ini dibenarkan selama didasarkan pada al-Qur’an dan sunnah Rasul. Di samping faktor waktu dan tempat, terjadinya fiqh itu juga disebabkan adanya faktor internal bahwa di dalam Islam ada seruan untuk memurnikan ajaran Islam dan memahaminya dengan pemikiran yang rasional. Bila demiakian halnya, maka kemandekan, kejumudan dan kemunduran umat Islam yang selama ini terjadi dan diprihatinkan banyak pakar akan berubah dan mencair. Pada gilirannnya kemajuan umat Islam dan kejayaannya pun akan diraih kembali. Menurut Nurcholis Madjid,[4] bahwa kemunduran dan kemacetan umat Islam itu bagaikan jalan yang sedang macet dan untuk mengembalikan kemacetan itu kita harus menjalankan apayang terbaik dan berbuat yang terbaik sesuai dengan fungsi masing-masing. Yang perlu sekarang adalah berbuat yang terbaik, demi kemajuan Islam di kemudian hari.
2. Gerakan Pembaharuan Muhammadi Bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab menunjukkan bahwa dia adalah keturunan dan diasuh dalam lingkungan penganut mahzab Hambali, suatu aliran yang menganut faham Salafiyah.[5] Dalam menggunakan ukuran faham dan pengalaman ulama-ulama salaf ini Imam Ahmad bin Hambal merupakan tokoh yang paling gigih dalam memperthankan kesederhanaan dan pemurnian pengalaman ajaran-ajaran Islam, terutama dalam bidang tauhid, sehingga dapatlah dikatakan bahwa dialah wakil yang paling tegas dari ahli-ahli sunnah dalam mempertahankan kemurnian akidah. Meskipun secara kuantitatif penganut aliran Hambali ini termasuk golongan kecil dan bahkan untuk sementara waktu pernah terdesak, namun ia tidak mati, masih tetap ada penganutnya. Dan kemudian ajaran Imam ahmad ini dihidupkan kembali oleh seorang ulama bernama Ahmad Taqiyuddin bin Taimiyah. Inilah yang mengilhami usaha-usaha pembaharuan Muhammad bin abdul Wahab. Ia mulai bergerak dan mengajarkan program pembaharuannya di negerinya sendiri, yaitu di Uyainah, di sekitar tahun 1740 M. Sesudah berusaha dengan giat dan gigih kian kemari akhirnya mendapat pengikut yang banyak pula. Akan tetapi juga banyak golongan-golongan yang menentang dan merintangi usaha pembaharuannya, antara lain saudaranya sendiri yaitu Sulaiman bin abdul Wahab.
Melihat pertumbuhan gerakan dakwahnya yang sangat keras dalam membumukan kembali ajaran-ajaran Islam yang bersh dari syirik dan bid’ah. Maka seorang amir dari al-Hasan yang menguasai Uyainah segera memerintahkan kepada amir Uyainah untuk membunuh Muhammad bin abdul Wahab pergi ke Dar’iyah, karena negeri ini agaknya tertarik terhadap ajaran-ajarannya. Di Dar’iyah inilah usaha Muhammad bin Abdul Wahab menunjukkan keberhasilannya secara baik dan bahkan Muhammad bin Sa’ud yang berkuasa di daerah itu akhirnya tertarik dengan ajarannya dan menjadi pendukung yang setia dan berusaha melindunginya.
3. Gerakan Salafiyah di Mesir
Gerakan Salafiah adalah suatu gerakan yang berusaha memperkenalkan aliran salaf dan mensosialisasikannya di tengah-tengah kalangan umat Islam. Sedangkan aliran salaf, sebaimana telah disinggung di muka, adalah aliran yang menggunakan sikap. Faham dan amalan-amalan para ulama salaf (sahabat-sahabat nabi saw. Yang salih dan para tabi’in) sebagai tolak ukur dalam menilai murni dan tidaknya pengamalan-pengamalan ajaran agama. Gerakan salafiah ini dimotori oleh tiga tokoh utama, yaitu: Jamaluddin al-Afghani, Syaik Muhammad Abduh, dan Muhammad Rosyid Ridha.
4. Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia berawal dari gerakan Islamisasi di Minagkabau yang dipelopori oleh Syaikh Baharudin, murid dari abdurrauf, seorang tokoh Islam dari Singkel yang meninggal pada tahun 1704 M. Islamisasi, selanjutnya dikembangkan di daerah-daerah pedalaman oleh empat murid Baharuddin, diantaranya yang terkenal adalah Tuanku Pemansiangau. Proses Islamisasi ini agaknya membawa perubahan yang tidak sedikit, terutama dalam lapangan adat, betapapun masalah adat ini selalu dipertahankan oleh pemuka-pemuka masyarakat. Lebih jauh, gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau yang dirintis oleh Syaikh Baharudin dan para muridnya itu, disambut baik oleh beberapa tokoh muda Minangkabau, seperti Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang. Bahkan tidak lama kemudian bermunculan pula para pengembang pembaharu Islam, yaitu: Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh muhammad Thohir Jalaluddin, Syaikh Muhammad Jambil Jambek, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Haji abdullah Ahmad, dan Haji Syaikh Ibrahim Musa.
Gerakan para haji ini kemudian terkenal dengan sebutan gerakan Padri.[6] Ulama-ulama yang berpengaruh dalam masyarakat, agaknya menyambut dengan baik gerakan kaum padri tersebut. Ulama-ulama yang sudah menyiarkan Islam, kemudian tampil menjadi pemimpin-pemimpin yang berperan dalam dalam gerakan Padri itu. Ajaran kaum Padri juga menarik perhatian sementara kepala-kepala negri di daerah pantai, oleh karena itu mereka mengambil sikap menyokongnya. Sebaliknya, di kalangan kaum adat sikapkeras dari Padri justru menimbulkan konflik dan ketegangan. Kebiasaan dari tradisi lama yang sudah berakar dalam masyarakat Minangkabau, agaknya tidak begitu mudah diubah dalam waktu yang singkat. Kalau kebiasaan dari tradisi lama itu diganggu maka akan dengan mudah timbul reaksi dari rakyat. Ketika Haji Miskin melarang penyabungan ayam yang dilakukan oleh penduduk di Padai Sikai, misalnya timbullah segera reaksi dari penduduk sehingga Haji Miskin sendiri terpaksa harus menyingkir untuk menghindari reaksi fisik dari pendukung-pendukung adat tadi. Setelah adanya keributan itu, Haji Miskin agaknya tidak putus asa untuk mengadakan perubahan terhadap tradisi lama, bahkan ia meneruskan usahanyan dengan menghimpun para pengikutnya. Pertempuran mulai meletus di kota Lawas dan menjalar ke daerah-daerah lain. Daerah yang dikuasai kaum Padri, rakyatnya mengangkat senjata untuk menggabungkan diri dalam perang.
Orang-orang Arab progresif di Indonesia yang telah berpikiran maju memperhatikan keberadaan pendidikan bagi putra-putrinya. Bentuk keprihatinan mereka tersebut diwujudkan dalam usaha mendirikan perkumpulan bernama Al Jam’iyah al-Khairiyah.[7] Orang-orang keturunan Arab itu, diantaranya: Sayyid Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Mansyur, Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Stihab, dan lain-lain. Nama perkumpulan tersebut kemudian disingkat Jamiatul Khair. Organisasi ini terbuka untuk setiap muslim tanpa diskriminasi asal-usul, tetapi mayoritas anggotanya adalah orang-orang keturunan Arab (orang-orang yang berada). Dan, konon Ahmad Dahlan pernah memasuki organisasi ini. Kegiatan pertama yang dilakukan organisasi ini adalah mendirikan tingkat dasar 7 tahun. Selanjutnya, juga mengadakan program yang berbentuk pengiriman anak-anak muda belajar ke Turki. Bidang ini dalam perjalanan selanjutnya terhambat karena kekurangan dana. Konon, tokoh Muhammadiyah, KH Yunus Anis adalah seorang alumni Jamiatul Khair Jakarta. Pada tahun 1905, Jamiatul Khair mendirikan sekolah dasar 7 tahun yang diatur secara modern.[8] Di sekolah ini disamping diajarkan ilmu agama Islam, juga diajarkan ilmu pengetahuan umum, sebagaiman sekolah-sekolah pemerintah. Pengetahuan bahasa, disamping bahasa Arab, juga diajarkan bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Untuk mencukupi guru-guru berbagai ilmu pengetahuan, maka didatangkan guru-guru dari daerah lain dan juga dari luar negeri. Misalnya, Al-Hasimi, asal Tunisia, ia datang ke Indonesia pada tahun 1911. Dialah yang pertama-tama memperkenalkan gerakan kepanduan dan juga olah raga dalam lingkungan sekolah Jamiatul Khair. Dan selanjutnya, dialah yang merupakan orang yang mula-mula mendirikan kepanduan di kalangan umat Islam Indonesia. Pada tahun 1911, tiga guru dari Arab bergabung ke dalam Jamiatul Khair, mereka itu adalah Syaikh Ahmad Syurkati dari Sudan, syaikh Muhammad Thaib dari Maroko, dan Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah. Diantara ketiga guru dari Arab tersebut, Syaikh Ahmad Syurkatilah yang mampu memainkan peranan sangat penting dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran baru di kalangan umat Islam di Indonesia.
Gelombang ketiga dari guru-guru yang datang dari luar negeri, yaitu Muhammad Abdul Fadl al-Anshari, Hasan Hamid al-Anshari, Muhammad Noor (Abdul Anwar) al-Anshari dan Ahmad al-Awif. Kehadiran mereka diperuntukkan bagi Jamiatul Khair di Surabaya. Walaupun hanya seorang di antara guru-guru itu yang pernah belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo (1888-1906) dan pernah menjadi murid Muhammad Abduh, yaitu Syaikh Muhammad Noor, ternyata semuanya telah berkenalan dengan karya-karya para pembaharu (Gerakan Salaf) Mesir, di negerinya semula. Mereka memperjuangkan juga persamaan sesama muslim dan pemikiran kembali kepada al-Qur’an dan Hadist. Hal ini menyebabkan mereka diasingkan dari kalangan sayyid dan jamiatul Khair yang melihat ide-ide tentang persamaan ini sebagai ancaman terhadap kedudukan mereka yang lebih tinggi dibandingkan dengan golongan lain dalam masyarakat Islam di Jawa. Hal inilah yang mengakibatkan pecahnya Jamiatul Khair menjadi dua golongan: (pertama) Golongan yang berpendapat bahwa semua manusia itu sama di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah kualitas taqwanya. dan (kedua) Golongan yang beranggapan bahwa keturunan sayyid lebih tinggi derajatnya daripada keturunan awam. Mereka ini menolak perkawinan antar golongan. Dalam proses perkembangan selanjutnya akibat dari pecahnya menjadi dua golongan tersebut, Jamiatul Khair terus-menerus mengalami kemunduran.
[1] Salimi, Ibnu dkk. 1998. Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologi, dan Organisasi. Suarakarta: LSI UMS, hal 1.
[2] Ijtihad adalah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an dengan syarat-syarat tertentu, dlm Salimi hal 2.
[4] Menurut Nur Cholis Madjid dlm Salimi, Ibnu dkk. 1998. Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologi, dan Organisasi. Suarakarta: LSI UMS, hal 17.
[5] Aliran Salafiyah adalah aliran yang menggunakan sikap faham dan amalan-amalan ulama-ulama salaf (sahabat-sahabat nabi saw yang salih dan tabi’in) sebagai ukuran (atas dasar orientasi) dalam menilai murni dan setidaknya pengalaman-pengalaman ajaran agama.
[6] Gerakan Padri adalah gerakan yang bertujuan untuk memperbaiki masyarakat Minagkabau dan berusaha mengembalikan masyarakat Minangkabau pada keadaan yang sesuai dengan ajaran Islam yang murni yang dipelopori oleh para ulama.
[7] Organisasi yang juga disingkat Jamiatul Khair ini didirikan pada tanggal 17 Juli 1905 di Jakarta oleh orang-orang keturunan Arab yang bergerak di bidang pendidikan.
BAB III
Latar Belakang, Tujuan dan Rasionalisme Muhammadiyah
dalam Bidang Pendidikan di Yogyakarta tahun 1914-1942
A. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
Berdirinya Muhammadiyah tidak dapat lepas dari pribadi pendirinya yaitu KH Ahmad Dahlan. KH Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta tahun 1285 H/1869 M. Ayahnya bernama KH Abu Bakar, seorang khatib Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta. Bila silsilahnya dirunut lebih jauh, maka ditemukan keterangan bahwa ia adalah keturunan Syaikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), yang wafat pada 8 April 1418 M, yang disemayamkan di Gresik.[1] Adapun bila dilihat dari latar belakang pendidikannya, KH Ahmad Dahlan dapat dikatakan tidak pernah memasuki sekolah secara formal. Perspektif keagamaan dan keilmuannya sebagian besar merupakan hasil otodidaknya, hasil belajar yang ia lakukan secara mandiri. Kemampuan membaca dan menulis persyaratan belajar dalam otodidaknya diperoleh dari keseriusan belajar di bawah asuhanndan bimbingan ayahandanya, sahabat dan saudara-saudara iparnya. Menjelang dewasa, KH Ahmad Dahlan belajar ilmu fiqih kepada KH Muhammad Shaleh , dan belajar ilmu nahwu kepada KH Abdul Hamid. Sementara itu, keahliannya dalam ilmu falaq diperoleh dari berguru kepada KH R. Dahlan, salah seorang putra Kyai Termas. Sedangkan ilmu Hadis yang dikuasainya diperoleh dari KH Mahfud dan Syeikh Khayat.
Pada usia 22 tahun (1890) KH Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji. Kesempatan menunaikan ibadah haji tersebut ia pergunakan sebaik-baiknya untuk belajar pada seorang guru yang bernama Imam Syafi’i Sayid Bakir Syantak di Mekkah, selam kurang lebih 2 tahun. Pada tahun 1903, untuk kedua kalinya KH Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji bersama pteranya: Siraj Dahlan yang masih berumur 13 tahun. Selama 1,5 tahun mereka bermukim di Mekkah untuk memperdalam ilmu fiqih dan ilmu hadis. Disamping berguru selama 1,5 tahun di Mekkah ia memanfaatkan waktunya untuk belajar dan menguasai berbagai buku dan kitab-kitab yang cukup banyak baik buku yang membahas tentang ilmu kalam dan ilmu tauhid, ilmu fiqih maupun ilmu tasawuf. Jika mencoba melihat latar belakang berdirinya Muhammadiyah, maka akan ditemukan banyak teori dan sudut pandang. Para pengamat yang berusaha menjelaskan hal ini berusaha membangun teori yang didasarkan atas bacaan mereka mengenai lingkup sosial keagamaan yang melatari berdirinya Muhammadiyah. Setiap temuan diperkaya oleh berbagai fakta yang diyakini para pendukungnya sebagai faktor pendorong utama berdirinya Muhammadiyah.
Menurut Alwi Shihab, terdapat dua pandangan dalam hal ini.[2] Pandangan pertama menyatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaharuan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke-20. Pada masa itu di timur tengah, khususnya di Mesir, Jamaludin al-Afgani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) tengah gencar-gencarnya mempelopori gerakan pembaharuan Islam. Kiai Dahlan, sebelum mendirikan Muhammadiyah, termasuk salah seorang yang menerima pengaruh gagasan-gagasan dan penafsiran Abduh tentang perlunya reformasi dan pembaharuan pendidikan Islam. Sementara itu, pandangan kedua menyatakan bahwa Muhammadiyah muncul sebagai respon terhadap pertentangan ideologis yang berlangsung dalam masyarakat Jawa. Pada masa itu, keyakinan keagamaan dalam masyarakat Jawa masih sangat diwarnai oleh pengaruh tahayul, churafat, mitologi, dan sebagainya yang berbau sinkritisme (kejawen). Beberapa pendapat bahwa meskipun bedirinya Muhammadiyah memang bersamaan dengan tumbuhnya pembaharuan Islam di Timur Tengah, namun pembaharuan keagamaan di Indonesia, khususnya yang dipelopori oleh Ahmad Dahlan hendaknya dilihat sebagai paralel dengan gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah tersebut. HB Vlekke, misalnya, sebagaimana dikutip Alwi Shihab, mengemukakan bahwa pengaruh gagasan-gagasan pembaharuan Islam terhadap Muhammadiyah terutama bersal dari India, bukan dari Mesir.[3]
Meskipun dua faktor di atas memainkan peran sangat signifikasi bagi kelahiran Muhammadiyah, namun terdapat faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu penetrasi misi Kristen di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah serta pengaruh yang di timbulkannya. Meskipun banyak pengamat di Indonesia yang mengabaikan pentingnya faktor Kristenisasi ini, namun harus diakui bahwa faktor ini merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Sekalipun demikian, bukan berarti bahwa kelahiran dan kebangkitan Muhammadiyah hanya semata-mata sebagai reaksi terhadap kegiatan misi Kristen yang agresif di Jawa Tengah, sebagaimana dikatakan Amry Vandenbosch. Masih banyak faktor lain yang menyebabkan munculnya derakan Islam modernis ini. Hamka,salah seorang ulama dan tokoh Muhammadiyah terkemuka, mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mendorong lahirnya organisasi ini. Pertama, keterbelakangan dan kebodohan umat Islam Indonesia di hampir semua bidang kehidupan. Kedua, suasana kemiskinan yang parah yang diderita oleh umat Islam dalam suatu negeri yang kaya seperti Indonesia. Dan ketiga, kondisi pendidikan Islam yang sudah ketinggalan zaman, seperti yang dapat terlihat dalam lembaga pendidikan pesantren. Sementara itu, Mustafa Kemal Pasha dan Ahmad Darban menyatakan bahwa secara garis besar faktor-faktor yang melatar belakangi Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, faktor subyektif pribadi Ahmad dahlan dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an, terutama QS. Ali Imran: 104 – yang secara eksplisit merupakan perintah untuk melakukan dakwah amar makruf nahi munkar. Kedua, faktor objektif, baik faktor obyektif internal maupun faktor objektif eksternal.
Faktor obyektif internal didasarkan pada kondisi masyarakat Islam di lingkungan Kauman, Yogyakarta, dimana cita-cita pembaruan yang dipelopori oleh Ahmad Dahlan sebenarnya menghadapi tantangan kehidupan keagamaan yang bercorak ganda: sinkretik dan tradisional. Di Kauman, Ahmad Dahlan berdiri di tengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak, ia menghadapi Islam sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa, dengan keraton dan golongan priyayi sebagai pendukungnya, dan di pihak lain menghadapi Islam tradisional yang tersebar di daerah pedesaan dengan pendukungnya para kiai dan pesantren-pesantren. Adapun faktor objektif eksternal didasarkan pada realitas masyarakat Indonesia yang terjajah oleh penguasa Belanda. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedatangan penjajah Barat ke Indonesia memiliki motif politik (glory), ekonomi (gold) dan misi agama Kristen (gospel) sekaligus.[4] Dalam upaya mewujudkan ketiga motif tersebut, pemerintah Belanda menggarap penduduk pribumi dengan cara mengembangkan budaya Barat sedemikian rupa sehingga orang Indonesia mau menerima kebudayaan Barat sebagai bagian dari kebudayaan mereka walaupun tanpa mengesampingkan kebudayaan asli, atau yang dikenal dengan istilah Westernisasi. Sedangkan program Kristenisasi yaitu program yang ditunjukan untuk mengubah agama penduduk pribumi. Pada abad ke-19, banyak orang Belanda yang berharap dapat menghilangkan pengarug Islam dalamproses Kristenisasi secara cepat atas sebagian besar penduduk Indonesia. Pemerintah Belanda menyadari signifikansi program Kristenisasi ini, karena diterimanya agama kristen sebagai agama penduduk pribumi merupakan poin besar bagi keberlangsungan perluasan wilayah penjajahan. Artinya, mereka akan memperoleh dua keuntungan sekaligus, dimensi politik dan dimensi keagamaan. Dari berbagai fakta di atas, dapat ditemukan kenyataan bahwa pendirian Muhammadiyah bukanlah semata-mata karena kebetulan, namun betul-betul merupakan hasil pembacaan secara objektif atas berbagai realitas sosial yang sangat ironis di tengah-tengah penjajahan Belanda dan di gabungkan dengan pemahaman atas pesan-pesan suci al-Qur’an. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tidak dengan kepala kosong, tentu saja dengan aspirasi (keinginan dan cita-cita) Islam yang ingin ia bangun. Dengan kebesaran dan ketahanan Muhamadiyah dalam mengarungi berbagai masa, maka akar pemikiran mengenai lahirnya Muhammadiyah, yang diantaranya tampak pada aspirasi Ahmad dahlan, tidak bisa dinafikan.
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi keagamaan memiliki landasan kesejarahan yang kuat dengan kaum mustad’afin yaitu kaum yang tertindas atau lemah di Indonesia. Organisasi ini lahir atas dirongan keprihatinan social yang mendalam oleh para pendiri dan penggagasnya. Salah satu keprihatinan social yang dirasakan adalah kebodohan dan kemiskinan umat yang terjadi dimana-mana. Muhammadiyah lahir dengan mengambil peran-peran social tersebut dengan mendirikan lembaga pendidikan, kesehatan serta lembaga panti asuhan. Sejak didirikan Muhammaduyah menjadikan Al-qur’an dan Sunnah Rasul sebagai dasar dalam perjuangan dan amal usahanya. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul harus dibuka kembali, dipahami, memiliki kesadaran politik dan nasionalisme, percaya kepada diri sendiri didasarkan taqwa dan tawakal kepada Allah SWT. Dalam menggerakkkan Muhammadiyah, KH. Ahmad dahlan dan para pemimpin lainnya selalu berpegang teguh kepada: berfikir, berbicara, dan bekerja. Berfikir dengan akal yang cerdas dan luas dengan berpedoman Al-Qur’an dan Sunnah serta kebijaksanaan yang diizinkan, berbicara yang tegas dan sopan untuk menyampaikan dakwah Islam serta kebenaran untuk ketinggian agama, kebahagiaan rakyat dan masyarakat, bekerja untuk kemeredekaan dan kedaulatan bangsa. Dengan begitu Muhammadiyah berhasil menyadarkan umat Islam Indonesia apa arti agama bagi kesejahteraan masyarakat, berhasil mendirikan ribuan sekolah, masjid dan mushola, ratusan rumah sakit dan panti asuhan, sebagai darma bakti yang nyata bagi perjuangan dan pembangunan nasional yang dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah semata.
Muhammadiyah bukan hanya sekedar menyandang nama besar. Sebagai sebuah organisasi masyarakat yang berpengaruh di Indonesia, Muhammadiyah secara nyata memiliki jaringan structural yang cukup kuat dan luas di seluruh wilayah Indonesia, yang sangat menunjang gerak dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Jaringan structural Muhammadiyah tersebut terbesar dan berjenjang dalam beberapa tingkatan yang mempunyai kewenangan di wilayah kerja masing-masing. Jaringan yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia tersebut merupakan potensi yang sangat besar untuk membangun ummat dan bangsa ini menuju masyarakat utama dalam bentuk kinerja dan jaringan yang kuat di berbagai bidang. Di samping itu, jaringan structural tersebut merupakan kontribusi Muhammadiyah yang sangat besar dalam mengakomodasikan warga bangsa ini menyalurkan berbagai aspirasi yang dimiliki oleh bangsa. Adapun struktural lembaga Muhammadiyah dari atas sampai bawah adala sebagai berikut:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah jenjang structural Muhammadiyah tertinggi. Tingkatan yang paling tinggi dari seluruh tingkatan Pimpinan Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah mempunyai fungsi koordinatif bagi seluruh Pimpinan Muhammadiyah yang ada di Indonesia, sekaligus mengkoordinasikan gerakan dakwah Islamiyah di seluruh wilayah Indonesia melalui berbagai bentuk aktivitas dakwah, seperti keagamaan, pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, dan sebagainaya.
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah adalah jenjang struktur Muhammadiyah setingkat provinsi. Dalam tingkatan yang lebih tinggi dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah mempunyai fungsi koordinatif bagi seluruh Pimpinan Muhammadiyah yang ada di wilayah propinsi tersebut, sekaligus mengkjoordinasikan gerakan dakwah islamiyah di seluruh wilayah Indonesia.
Pimpinan Daerah Muhammadiyah
Pimpinan daerah Muhammadiyah adalah jenjang struktur Muhammadiyah setingkat kabupaten (district). Dalam tingkatan yang lebih tinggi dari Pimpinan Cabang Muhammadiyah, Pimpnan daerah Muhammadiyah mempunyai fungsi koorninatif bagi seluruh Pimpinan Muhammadiyah yang ada di wilayah kabupaten tersebut, sekaligus mengkoordinasikan gerakan dakwah Islamiyah di seluruh wilayah kabupaten melalui berbagai bentuk aktivitas dakwah, seperti keagamaan, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya.
Pimpinan Cabang Muhammadiyah
Pimpinan Cabang Muhammadiyah adalah jenjang struktur Muhammadiyah setingkat kecamatan (sub district). Dalam tingkatan yang lebih tinggi dari Pimpinan Ranting Muhammadiyah, Pimpinan Cabang Muhammadiyah mempunyai fungsi koorninatif bagi seluruh Pimpinan Muhammadiyah yang ada di wilayah kecamatan sekaligus mengkoordinasikan gerakan dakwah islamiyah di seluruh wilayah kecamatan melalui berbagai bentuk aktivitas dakwah.
Pimpinan Ranting Muhammadiyah
Pimpinan Ranting muhammadiyah adalah jenjang struktur Muhammadiyah setingkat desa dan merupakan ujung tomabak bagu gerakan dakwah Islamiyah yang dilaksanakan Muhammadiyah, karena Pimpinan Ranting Muhammadiyah menjangkau dan berinteraksi secara langsung dengan warga Muhammadiyah. Pimpinan ranting Muhammadiyah adalah kekuatan paling nyata yang dimiliki Muhammadiyah, karena di tingkatan inilah sebenarnya basis-basis gerakan Muhammadiyah bias dilaksanakan secara nyata.
Struktur fungsional dalam Muhammadiyah terdiri dari:
Majelis, yang terdiri:
- Majelis Tabligh dan Dakwah khusus
- Majelis tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
- Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
- Majelis kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat
- Majelis Ekonomi
Lembaga, terdiri:
- Lembaga Hikmah dan Hubungan Luar Negeri
- Lembaga Pemberdayaan Supremasi Hukum dan Hak Asasi manusia
- Lembaga Pengembangan Tenaga Profesi
- Lembaga Seni dan Budaya
- Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani dan Buruh
- Lembaga Studi dan Pemberdayaan Lingkungan Hidup
- Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah
Muhammadiyah mempunyai satu badan dan satu biro yaitu Badan Pembina dan Pengawas keuangan dan Biro Organisasi.
Adapun pokok dasar pendidikan Muhammadiyah adalah:
- Prinsip kemasyarakatan (Sosialita)
- Prinsip kemajuan (Progresivitas)
- Prinsip kegiatan (Aktivitas)
- Prinsip percaya diri (Optimisme)
Sesuai dengan maksud dan tujuan masing-masing sekolah Muhammadiyah adalah:
- Madrasah Bustanul Atfal
- Madrasah Ibtidaiyah (Sekolah Rendah)
- Sekolah Menengah
- Sekolah Tinggi
B. Tujuan Didirikannya Muhammadiyah
Sebagaimana organisasi masa lainnya, Muhammadiyah didirikan dengan memabawa misi dan tujuan tertentu. Bila dicermati sejak berdirinya hingga sekarang ini, ternyata tujuan persyarikatan Muhammadiyah selalu mengalami perubahan. Pada masa awal berdirinya, yaitu pada tahun 1912, misalnya, rumusan tujuan Muhammadiyah berbeda dengan rumusan tujuan Muhammadiyah pada tahun 1986. Pada tahun 1912 Muhammadiyah pada masa kemerdekaan. Berdasarkan surat prmohonan Ahmad Dahlan tertanggal 20 Desember 1912 yang ditandatangani oleh Voorziter, Ahmad Dahlan dan Sekretaris Haji abdullah Siraj, Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan syratnya tertanggal 22 Agustus 1914, menegaskan anggaran dasar (statuten) Muhammadiyah tersebut mulai berlaku pada tanggal 22-23 Januari 1915 atau 12 Maulud 1333 H. Adapun tujuan organisasi Muhammadiyah yang dirumuskan dalam statuten pertama kali tersebut adalah: (a) Menyebarkan pengajaran agama Kanjeng nabi Muhammad saw kepada penduduk bumi putera dalam Residensi Yogyakarta, dan (b) Memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya.[5]
Tujuan tahun kemudian (1921) dari persetujuan Gubernur Jenderal tahun 1914, tujuan Muhammadiyah sesuai dengan besluit Gubernur Jenderal tanggal 2 September 1912 no.36 berubah menjadi: (a) Memajukan dan menggembirakan pengajaran agama Islam di Hindia Nederland, (b) Memajukan dan menggembirakan cara kehidupan sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya (segala sekutunya). Selanjutnya pada tahun 1950 rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah mengalami perubahanlagi. Perubahan perumusan maksud dan tujuan pada tahun 1950 ini merupakan perumusan maksud dan tujuan yang pertama dalam suasana Indonesia merdeka, yaitu tercantum dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 3, yaitu: “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Perubahan terakhir terjadi disebabkan oleh lahirnya UU no.8 tahun 1985 yang mewajibkan setiap organisasi dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Jika tahun 1950, secara eksplisit dicantumkan asas dasar organisasi Muhammadiyah yakni: Islam dalam pasal 2 Anggaran Dasar Muhammadiyah, maka konsepsi dasar yang tercantum dalam pasal 2 tersebut pada Muktamar ke-41 di Solo dituangkan dalam Pasal 1 ayat 1 di bawah judul: Nama, Identitas dan kedudukan, berbunyi: “Persyarikatan ini bernama Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, beraqidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya, Asas dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah hasil keputusan Muktamar ke-41 di Solo terdapat dalam pasal 2 Anggaran Dasar Muhammadiyah yakni Pancasila. Dalam hubungannya dengan pasal 2 pada Asas tersebut di atas, kiranya perlu diperhatikan sebuah catatan kecil namun fundamental dari perubahan Anggaran Dasar tersebut di atas, yang merupakan penjelasan filosofis pengertian makna dasar Asas Pancasila menurut Muhammadiyah. Mengenai hal ini, Muktamar Muhammadiyah memberi catatan penjelasan, bahwa asas Pancasila dalam pasal 2 Anggaran Dasar Muhammadiyah bertumpu pada sila pertama: Ketuhanan Yang maha Esa. Hal ini dipahami sebagai keimanan kepada allah SWT yang berinti Tauhid. Catatan penjelasan tersebut, merupakan konsepsi dasar Muhammadiyah dalam kaitannya dengan asas Pancasila yang perlu menjadi rujukan setiap penjelasan, dan penjabaran maksud dan tujuan Muhammadiyah pasal 3 Anggaran Dasar dan operasionalisasi pasal 4 tentang Usaha. Dengan demiakian, jiwa Tauhid selalu mewarnai amal usaha Muhammadiyah dalam mengaktualisasikan nilai ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Sementara itu, pasal3 tentang Maksud dan Tujuan Muhammadiyah adalah merupakan definisi operasional dar asas Pancasila dan dipahami sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa yang berinti Tauhid: simpul dari keimanan kepada Allah SWT. Adapun maksud dan tujuan Muhammadiyah hasil keputusan Mukatamar ke-41 di Solo adalah sebagai berikut: “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata ala”.
C. Rasionalisme Melalui Jalur Pendidikan
Dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia, pendidikan telah menjadi semacam teknologi yang memproduksi manusia masa depan paling efektif. Dari fenomena perkembangannya yang terakhir, memberikan petunjuk bahwa pendidikan bukan saja menjadi alat suatu lembaga atau suatu masa dalam proyeksi berbagai tujuan mereka, pendidikan bahkan telah menjadi kebutuhan manusia sendiri secara massal. Pendidikan memiliki makna cukup penting untuk meletakkan harapan masa depan suatu generasi kehidupan manusia. Dengan makna pendidikan seperti tersebut, pendidikan kemudian mampu mengangkat dirinya sebagai substitusi dari kehidupan masyarakat yang memiliki daya pengaruh cukup kuat terhadap mekanisme dan dinamika sistem kehidupan sosial itu sendiri. Maka pendidikan adalah segala proses usaha sistematis dari kerja memahamkan dan mengenalkan Islam. Pengenalan dan pemahaman terhadap Islam merupakan kerangkan dasar yang diatas dasar itu dibangun sistimatisasi metodologis mengoprasionalkan nilai kehidupan manusia sebagai Abid dan khalifi. Oleh karena itu kegiatan pendidikan Islam sekaligus merupakan pengembangan bakat potensi manusia untuk dapat membuktikan dan melaksanakan kepercayaan Allah terhadap dirinya.[6]
Dalam catatan Kuntowijoyo, dinamika Muhammadiyah pasca Muktamar ke-38 di Ujung Pandang (Makassar) semakin memperlihatkan karakternya sebagai gerakan amal yang lebih berdimensi sosial. Hai ini tampak dari orientasi Muhammadiyah untuk menambah jumlah sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, pantai asuhan, dan lain-lain. Atau dalam istilah lain, lebih dikenal sebagai gerakan amal usaha. Orientasi sebagai gerakan kultural yang diterjemahkan pada praksis sosial, terutama bidang pendidikan dan pelayanan sosial sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi Muhammadiyah. Sejak awal Muhammadiyah berdiri sudah berusaha mencoba mengatasi persoalan yang membelit umat Islam masa itu, yaitu kebodohan dan keterbelakangan, melalui jalur pendidikan. Sehingga, bidang pendidikan menjadi program unggulan dar Peryarikatan dalam meningkatkan kecerdasan masyarakat. Melalui pengembangn sektor pendidikan, Muhammadiyah dapat menarik peserta didik dari kalangan wong cilik. Sebagai sebagai konsekuensinya, terjadi mobilisasi sosial vertikal besar-besaran umat Islam pada era Orde Baru, di mana umat Islam banyak terserap ke dalam jenis-jenis profesi modern: pendidik, intelektual, birokrat, bisnis, wartawan dan sebagainya. Dengan kata lain, jalur pendidikan yang menjadi orientasi utama Muhammadiyah telah memberikan kontribusi cukup besar bagi hadirnya masyarakat “kelas menengah” Muslim baru di Indonesia. Memang harus diakui, bahwa orientasi non-politik Muhammadiyah sejak awal Orde Baru telah memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada organisasi ini untuk lebih mengembangkan amalusahanya. Dengan jaringan organisasi yang tersebar di seluruh nusantara, dari tingkat pusat hingga tingkat ranting, Muhammadiyah merupakan organisasi yang mapan dalam pengembangan dunia pendidikan.
Seluruh amal usaha bidang pendidikan ini pada umumnya berdiri atas inisiatif lokal, berdasarkan kebutuhan setempat, dan dibangun dengan swadaya masyarakat. Bantuan pemerintah, kalaupun ada, biasanya diberikan pada proses penyelesaian akhir, dan porsinya sangat kecil dibandingkan swadaya masyarakat setempat. Hingga saat ini bidang pendidikan masih merupakan pilihan utama bagi Muhammadiyah untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Melalui pendidikan, Muhammadiyah berusaha aktif untuk melakukan terobosan-terobosan ke arah pencerahan intelektual, membebaskan umat manusia dari ikatan-ikatan primordial-tradisional yang kaku, budaya taqlid dan feodalisme yang membelenggu masyarakat. Muhammadiyah menyadari pentingnya dunia pendidikan sebagai langkah investasi sumber daya manusia yang hasilnya tidak dapat dirasakan dalam waktu sekejab. Muhammadiyah memandang bahwa perubahan nasib umat Islam hanya mungkin dicapai apabila umat Islam memperoleh akses yang seluas-luasnya ke dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang mencerahkan dengan sendirinya akan menghapuskan segala bentuk penyimpangan atas rasionalisme, seperti kepercayaan terhadap tahayul, bid’ah dan churafat. Pendidikan menjadi lembaga modern yang sengaja dipilih oleh Muhammadiyah masa penjajahan Belanda untuk menghapuskan keterbelakangan dan kebodohan rakyat Indonesia. Gagasan pembaruan Muhammadiyah untuk memurnikan ajaran agama dari praktik-praktik syirik, bid’ah dan churafat, pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai perubahan sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, atau dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dilihat dari segi ini, sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah memberikan ideologi baru dengan suatu pembenaran teologis untuk memperlancar transformasi sosial menuju masyarakat kota, industrial dan modern. Tampaknya Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk cita-cita semacam itu. Upaya Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke arah transformasi itu misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai sejauh itu dianggap dapat menghambat kemajuan.
Sistem sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah adalah contoh yang paling jelas dari usaha tersebut. Muhammadiyah menyadari bahwa untuk hidup di dalam masyarakat industrial, orang harus belajar melalui pendidikan formal yang mengajarkan keterampilan-keterampilan tertentu. Peluang semacam ini hampir tidak diperoleh dari sistem pendidikan pesantren tradisional. Pendidikan Muhammadiyah berusaha memenuhi pasaran kerja baru dalam birokrasi, industri, pendidikan, perdagangan dan sebagainya. Tampak sekali bahwa pendidikan Muhammadiyah memang hendak menjangkau lingkungan pemasaran modern. Itulah sebabnya sulit membayangkan dapat muncul golongan muslim terpelajar yang siap menghadapi kehidupan modern tanpa adanya sekolah-sekolah Muhammadiyah.[7] Pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah adalah pendidikan yang telah mengalami proses modernisasi pada zamannya, baik dalam sistem pengajaran maupun kurikulum pelajaran. Modernisasi itu berupa penggunaan sistem penjenjangan kelas yang tidak dikenal dalam sistem pendidikan tradisional, serta kurikulumnya memadukan pengetahuan umum dengan pengetahuan agama.
[1] Salimi, Ibnu dkk. 1998. Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologi, dan Organisasi. Suarakarta: LSI UMS, hal 51.
[2] Shihab, Alwi. 1998. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristenisasi di Indonesia. Bandung: Mizan, hal 125-141
[3] Sazali. 2005. Muhammadiyan dan Masyarakat Madani (Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme). Jakarta: PSAP, hal 74.
[5] Ibid,. s. 56
BAB IV
Dinamika Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1914-1942
Sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam di Bidang Pendidikan
A. Muhammadiyah Masa Ahmad Dahlan
Dalam masa perkembangan ini, pengaruh gerakan Muhammadiyah semakin tersebar kedaerah-daerah lain di luar Yogyakarta, yang kemudian diikuti dengan berdirinya cabang dan ranting di daerah-daerah tersebut. Perkembangan ini diikuti pula dengan munculnya lembaga-lembaga pendukung (majelis, bagian) atau badan-badan otonom dalam gerakan Muhammadiyah. Daerah operasi Muhammadiyah mulai meluas setelah tahun 1917. Pada tahun itu, Budi Utomo mengadakan kongresnya di Yogyakarta, dan Ahmad Dahlan bertindak sebagai tuan rumah. Pada saat memperoleh kesempatan menyampaikan ceramah di area kongres, pengajian yang disampaikan Ahmad Dahlan ternyata memberi kesan mendalam bagi para utusan. Akibatnya, muncul banyak permintaan kepada pengurus Muhammadiyah untuk mendirikan cabang-cabangnya di berbagai daerah di Jawa.[1]
Pada tahun 1918 Ahmad Dahlan mendirikan organisasi wanita Muhammadiyah yang diberi nama Aisyiyah,[2] pada awalnya Aisyiyah merupakan organisasi yang berdiri sendiri. Tahun 1919, Aisyiyah mulai membuat taman kanak-kanak yang pertama di Indonesia. Sejak saat itu pula Aisyiyah mulai giat melakukan pemberantasan buta huruf di kalangan ibu-ibu dan mendirikan berbagai amal usaha di bidang pendidikan, dari tingkat anak-anak sampai kejuruan, akademi perawatan, sekolah guru taman kanak-kanak, dan kursus-kursus keterampilan. Selain itu, di bidang kesehatan Aisyiyah juga mendirikan rumah bersalin, pos pelayanan terpadu, menyelenggarakan program kesehatan ibu dan anak, dan Pembinaan Kesejahteraan keluarga (PKK). Ahamad Dahlan juga mendirikan gerakan Kepanduan Muhammadiyah, yang dikenal dengan nama Hizbul Wathan, pada tahun 1918. Gerakan ini dibentuk setelah muncul laporan dari seorang guru Muhammadiyah yang mengajar di Solo. Ketika itu ia menyaksikan suatu latihan kepanduan misi Kristen di alun-alun Mangkunegara. Laporan ini mengilhami Ahmad dahlan untuk mendirikan Hizbul Wathan. Pada mulanya, Hizbul Wathan merupakan bagian Departemen Pendidikan Muhammadiyah. Perluasan wilayah Muhammadiyah ke berbagai wilayah di daerah Jawa, menyebabkan Kongres Muhammadiyah tahun 1926 memutuskan untuk membentuk departemen khusus bagi gerakan kepanduan yang dinamakan Majelis Hizbul Wathan.[3]
B. Muhammadiyah Pada Masa Penjajahan Belanda
Semenjak Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923, dan kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh KH. Ibrahim, perdebatan di bidang politik dengan organisasi yang bergerak di bidang sosial-keagamaan semakin memuncak. Meskipun ditengah pergolakan itu Muhammadiyah tetap mampu mengembangkan organisasi, akan tetapi perbedaan orientasi dan persepsi mulai mewarnai kehidupan organisasi. Hal ini tercermin dari munculnya kesenjangan berpikir diantara beberapa kelompok dalam Muhammadiyah dimana sebagian pimpinan mengubah kebijaksanaan dengan menggunakan opini dan konflik radikal. Memang diakui, bahwa pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah dihadapkan pada benturan-benturan internal maupun eksternal, sebagai konsekuensi logis yang diterima oleh organisasi yang sedang mengalami perkembangan sangat pesat. Benturan internal dialami dalam kepemimpinan KH. Ibrahim terkait dengan adanya dugaan penerimaan “dana haram” sekaligus menjadi “kaki tangan” dari pemerintahan kolonial Belanda. Tuduhan tersebut disambut KH. Ibrahim dengan sikap yang sangat terbuka. KH. Ibrahim akhirnya mengundang seluruh utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapar Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta. Dan akhirnya terbukti bahwa dugaan tersebut tidak memiliki dasar sama sekali.
Sementara itu, rintangan eksternal dipicu oleh munculnya kebijakan pemerintah Belanda yang berupa Ordonansi Sekolah liar atau “Wilde Schoolen Ordonnantie”. Ordonansi Sekolah Liar adalah sebuah peraturan perundangan dari pemerintah kolonial Belanda yang dikeluarkan pada tahun 1932, yang intinya melarang adanya perguruan atau sekolah di Hindia Belanda yang didirikan atau diselenggarakan oleh siapa pun yang tidak didukung oleh tenaga pengajar yang berijazah guru dari pendidikan guru yang resmi diakui oleh pemerintah Belanda. Muhammadiyah melihat peraturan tersebut di samping memiliki motif untuk menghancurkan perjuangan bangsa Indonesia di bidang pendidikan dan pengajaran, sekaligus mengandung tujuan memecah-belah rakyat Indonesia yang beragama Islam dengan golongan nasionalis. Sebagai organisasi yang peduli terhadap bidang pendidikan, Muhammadiyah mengambil sikap tegas melalui sidang Tanwir, dengan menyatakan: (1) Muhammadiyah tetap mengakui hak dan wewenang pemerintah untuk membuat ordonansi. Tetapi Muhammadiyah berkeyakinan bahwa ordonansi sekolah liar sangat bertentangan dengan ajaran Islam, serta merugikan kehidupan bangsa Indonesia. (2) Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang maksud dan tujuannya hendak menyebarkan ajaran Islam dan hendak melaksanakan ajaran Islam seutuhnya, dengan tidak mengurangi pengakuan akan hak pemerintah pembuat ordonansi serta melaksanakan sebagaimana mestinya,termasuk menghukum kepada siapa yang tidak mentaati atau melanggarnya, akan tetap menyelenggarakan usahanya dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dengan meneruskan semua sekolah dalam keadaan seperti apa adanya untuk tetap melakukan kegiatan belajar mengajar.
Pada akhirnya, ternyata Muhammadiyah mampu menyelesaikan masalah tersebut, dengan beberapa kompromi. Misalnya, Muhammadiyah harus menyesuaikan kurikulum pendidikannya (dalam mata pelajaran umum) dengan kurikulum pemerintah, dan Muhammadiyah juga harus menyesuiaikan standar pelayanan sebagaimana yang resmi berlaku. Dan sejak tahun 1930-an itu, di bawah pimpinan Kiai Hisyam, Muhammadiyah mengalami kemajuan pesat di bidang pendidikan dan sosial lainnya. Dengan kemajuan itu, banyak diantara sekolah Muhammadiyah yang berhasil memperoleh subsidi pemerintah. Balai pengobatan dan panti asuhan pun bertambah banyak.
Konsekuensi harus kompromi dengan sistem pendidikan kolonial telah menyebabkan Pimpinan Muhammadiyah menghadapi persoalan baru, bagaimana harus menyesuaikan kurikulum dan sistem pelayanan yang berlaku pada sekolah pemerintah tanpa meninggalkan ciri pendidikan Muhammadiyah. Langkah kompromi para pimpinan Muhammadiyah ini dikritik oleh kalangan muda Muhammadiyah yang memiliki kecenderungan revolusioner, sebagai suatu kelalaian terhadap misi persyarikatan. Sedangkan kesediaan Muhammadiyah menerima subsidi pemerintah dianggap telah menyebabkan pudarnya jiwa keagamaan dari amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan. Meskipun hal tersebut dapat diatasi dengan baik, namun muncul kesan yang mendalam di kalangan Pimpinan Muhammadiyah bahwa cara berpikir politis tidaklah sesuai dengan prinsip murni gerakan Muhammadiyah. Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh Kiai Hisyam adalah kebijakannya untuk melakukan modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga memiliki kualitas yang setara dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah pemerintah kolonial. Walaupun harus memenuhi berbagai persyaratan yang berat, sekolah-sekolah Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapat pengakuan dan persamaan status dari pemerintah kolonial.
Salah satu kecenderungan yang terjadi pada generasi kepemimpinan Muhammadiyah pasca Ahamad dahlan adalah mulai masuknya orientasi pada politik praktis. Kecenderungan ini mulai muncul sejak tahun 1937 pada masa kepemimpinan Mas Mansur, yang menjadi tokoh puncak Muhammadiyah menjelang Perang Dunia II. Mas Mansur adalah salah seorang pemrakarsa berdirinya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). MIAI, sekalipun bukan sebuah federasi politik berbagai elemen umat Islam, namun bobot politiknya tidak dapat dipungkiri. Perubahan kecenderungan orientasi Muhammadiyah ke arah politik merupakan hasil perpaduan antara dorongan internal kepemimpinan Mas Mansur dengan tuntutan eksternal, di mana kekuatan partai-partai politik justru sedang meningkat. Tingginya konflik antar kekuatan politik saat itu telah menimbulkan tarikan sentrifugal, yakni kebutuhan memperoleh dukungan dan beralifiasi dengan kelompok lain. Inilah yang mendorong Muhammadiyah untuk terjun ke dalam aktivitas politik praktis.[4] Peristiwa ini mempunyai arti penting dalam perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari, karena kepemimpinan Mas Mansur telah berhasil meletakkan dasar-dasar partisipasi politik Muhammadiyah di pentas nasional yang menjadi tradisi yang berlaku di masa-masa berikutnya. Di kalangan Pimpinan Muhammadiyah, Mas Mansur dikenal sebagai tokoh yang memiliki semangat keagamaan sangat tinggi serta dikenal sebagai salah satu tokoh yang berperan besar dalam membentuk dan mengisi jiwa gerakan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam. Sebagai wujud konkret dari upaya mengokohkan kembali kehidupan keberagamaan, pada periode ini Majelis Tarjih diaktifkan kembali kegiatannya, sehingga melahirkan rumusan yang dikenal dengan “Masalah Lima”. Kelima masalah tersebut menegaskan beberapa doktrin yang dipahami Muhammadiyah mengenai: dunia, agama, qiyas, sabilillah dan ibadah.
Sebenarnya, pengangkatan Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah terjadi dalam suasana ketidakpuasan sebagian angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar yang terlalu mengutamakan pendidikan, tetapi melupakan bidang tabligh. Angkatan Muda saat itu menganggap bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua: KH. Hisyam, KH. Mukhtar dan KH. Syuja’. Setelah melalui dialog dan kompromi, ketiga tokoh tersebut bersedia mengundurkan diri. Dalam musyawarah tersebut, ternyata semua bakal calon ketua menolak untuk menjadi Ketua Pengurus Besar. Dan melalui dialog panjang dan berliku, akhirnya disepakati bahwa Mas Mansur dianggap merupakan tokoh yang mampu mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak sebagai puncak pimpinan Muhammadiyah. Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang berfikiran progresif demi kemajuan Muhammadiyah. Bahkan pengurus Besar Muhammadiayh pada periode Mas Mansur juga banyak didominasi oleh angkatan muda yang progresif. Di antara tokoh muda yang sangat berperan saat itu adalah Farid Ma’ruf dan Kahar Muzakkir, dua orang yang banyak memberikan ide-ide segar kepada Muhammadiyah karena keduanya merupakan lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. Selama belajar di Mesir, mereka telah bersentuhan secara langsung dengan gagasan pembaharuan Islam yang sedang marak di sana.
[1] Sazali. 2005. Muhammadiyan dan Masyarakat Madani (Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme). Jakarta: PSAP, hal 85-86.
[2] Aisyiyah adalah sebuah organisasi perempuan yang mengurus persoalan perempuan dalam bidang dakwah, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Organisasi tersebut sebelumya bernama Sopotrisno.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdirinya Muhammadiyah tidak dapat lepas dari pribadi pendirinya yaitu KH Ahmad Dahlan. Menurut Alwi Shihab, terdapat dua pandangan yang melatar belakangi Ahamad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Pandangan pertama menyatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaharuan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke-20. Pada masa itu di timur tengah, khususnya di Mesir, Jamaludin al-Afgani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) tengah gencar-gencarnya mempelopori gerakan pembaharuan Islam. Kiai Dahlan, sebelum mendirikan Muhammadiyah, termasuk salah seorang yang menerima pengaruh gagasan-gagasan dan penafsiran Abduh tentang perlunya reformasi dan pembaharuan pendidikan Islam. Sementara itu, pandangan kedua menyatakan bahwa Muhammadiyah muncul sebagai respon terhadap pertentangan ideologis yang berlangsung dalam masyarakat Jawa. Pada masa itu, keyakinan keagamaan dalam masyarakat Jawa masih sangat diwarnai oleh pengaruh tahayul, churafat, mitologi, dan sebagainya yang berbau sinkritisme (kejawen). Namun terdapat faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu penetrasi misi Kristen di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah serta pengaruh yang di timbulkannya. Meskipun banyak pengamat di Indonesia yang mengabaikan pentingnya faktor Kristenisasi ini, namun harus diakui bahwa faktor ini merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Sementara itu menurut Hamka, salah seorang ulama dan tokoh Muhammadiyah terkemuka, mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mendorong lahirnya organisasi ini. Pertama, keterbelakangan dan kebodohan umat Islam Indonesia di hampir semua bidang kehidupan. Kedua, suasana kemiskinan yang parah yang diderita oleh umat Islam dalam suatu negeri yang kaya seperti Indonesia. Dan ketiga, kondisi pendidikan Islam yang sudah ketinggalan zaman, seperti yang dapat terlihat dalam lembaga pendidikan pesantren.
Sejak awal berdiri Muhammadiyah sudah memperlihatkan karakternya sebagai gerakan amal yang lebih berdimensi sosial. Hai ini tampak dari orientasi Muhammadiyah untuk menambah jumlah sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, pantai asuhan, dan lain-lain. Atau dalam istilah lain, lebih dikenal sebagai gerakan amal usaha. Orientasi sebagai gerakan kultural yang diterjemahkan pada praksis sosial, terutama bidang pendidikan dan pelayanan sosial sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi Muhammadiyah. Sejak awal Muhammadiyah berdiri sudah berusaha mencoba mengatasi persoalan yang membelit umat Islam masa itu, yaitu kebodohan dan keterbelakangan, melalui jalur pendidikan. Sehingga, bidang pendidikan menjadi program unggulan dari Peryarikatan dalam meningkatkan kecerdasan masyarakat. Melalui pengembangn sektor pendidikan, Muhammadiyah dapat menarik peserta didik dari kalangan wong cilik. Dengan kata lain, jalur pendidikan yang menjadi orientasi utama Muhammadiyah telah memberikan kontribusi cukup besar bagi hadirnya masyarakat “kelas menengah” Muslim baru di Indonesia. Muhammadiyah menyadari pentingnya dunia pendidikan sebagai langkah investasi sumber daya manusia yang hasilnya tidak dapat dirasakan dalam waktu sekejab. Muhammadiyah memandang bahwa perubahan nasib umat Islam hanya mungkin dicapai apabila umat Islam memperoleh akses yang seluas-luasnya ke dalam dunia pendidikan. Pendidikan menjadi lembaga modern yang sengaja dipilih oleh Muhammadiyah masa penjajahan Belanda untuk menghapuskan keterbelakangan dan kebodohan rakyat Indonesia. Gagasan pembaruan Muhammadiyah untuk memurnikan ajaran agama dari praktik-praktik syirik, bid’ah dan churafat, pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai perubahan sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, atau dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
Dalam masa perkembangan setelah didirikan tahun 1912, pengaruh gerakan Muhammadiyah semakin tersebar kedaerah-daerah lain di luar Yogyakarta, yang kemudian diikuti dengan berdirinya cabang dan ranting di daerah-daerah tersebut. Perkembangan ini diikuti pula dengan munculnya lembaga-lembaga pendukung (majelis, bagian) atau badan-badan otonom dalam gerakan Muhammadiyah. Daerah operasi Muhammadiyah mulai meluas setelah tahun 1917. Pada tahun 1918 Ahmad Dahlan mendirikan organisasi wanita Muhammadiyah yang diberi nama Aisyiyah. Aisyiyah mulai membuat taman kanak-kanak yang pertama di Indonesia. Sejak saat itu pula Aisyiyah mulai giat melakukan pemberantasan buta huruf di kalangan ibu-ibu dan mendirikan berbagai amal usaha di bidang pendidikan, dari tingkat anak-anak sampai kejuruan, akademi perawatan, sekolah guru taman kanak-kanak, dan kursus-kursus keterampilan. ). Ahamad Dahlan juga mendirikan gerakan Kepanduan Muhammadiyah, yang dikenal dengan nama Hizbul Wathan, pada tahun 1918. Pada mulanya, Hizbul Wathan merupakan bagian Departemen Pendidikan Muhammadiyah. Perluasan wilayah Muhammadiyah ke berbagai wilayah di daerah Jawa, menyebabkan Kongres Muhammadiyah tahun 1926 memutuskan untuk membentuk departemen khusus bagi gerakan kepanduan yang dinamakan Majelis Hizbul Wathan.
Semenjak Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923, dan kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh KH. Ibrahim. Memang pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah dihadapkan pada benturan-benturan internal maupun eksternal. Benturan internal dialami dalam kepemimpinan KH. Ibrahim terkait dengan adanya dugaan penerimaan “dana haram” sekaligus menjadi “kaki tangan” dari pemerintahan kolonial Belanda. Tuduhan tersebut disambut KH. Ibrahim dengan sikap yang sangat terbuka. KH. Ibrahim akhirnya mengundang seluruh utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapar Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta. Dan akhirnya terbukti bahwa dugaan tersebut tidak memiliki dasar sama sekali. Sementara itu, rintangan eksternal dipicu oleh munculnya kebijakan pemerintah Belanda yang berupa Ordonansi Sekolah liar atau “Wilde Schoolen Ordonnantie”. Ordonansi Sekolah Liar adalah sebuah peraturan perundangan dari pemerintah kolonial Belanda yang dikeluarkan pada tahun 1932, yang intinya melarang adanya perguruan atau sekolah di Hindia Belanda yang didirikan atau diselenggarakan oleh siapa pun yang tidak didukung oleh tenaga pengajar yang berijazah guru dari pendidikan guru yang resmi diakui oleh pemerintah Belanda. Akan tetapi pada akhirnya, ternyata Muhammadiyah mampu menyelesaikan masalah tersebut, dengan beberapa kompromi. Misalnya, Muhammadiyah harus menyesuaikan kurikulum pendidikannya (dalam mata pelajaran umum) dengan kurikulum pemerintah, dan Muhammadiyah juga harus menyesuiaikan standar pelayanan sebagaimana yang resmi berlaku. Dan sejak tahun 1930-an itu, di bawah pimpinan Kiai Hisyam, Muhammadiyah mengalami kemajuan pesat di bidang pendidikan dan sosial lainnya. Konsekuensi harus kompromi dengan sistem pendidikan kolonial telah menyebabkan Pimpinan Muhammadiyah menghadapi persoalan baru, bagaimana harus menyesuaikan kurikulum dan sistem pelayanan yang berlaku pada sekolah pemerintah tanpa meninggalkan ciri pendidikan Muhammadiyah.
B. Saran
Muhammadiyah harus tetap mempertahankan tujuan awal dimana organisasi ini di bentuk, yaitu tetap bergerak di bidang pendidikan di Indonesia . Hal ini dilakukan untuk membentuk manusia yang mampu bersaing bagi kehidupan bangsa. Untuk para generasi penerus Muhammadiyah saat ini untuk tetap mengingat tujuan awal Ahmad Dahlan mendirikan organisasi ini. Memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa seiring berjalannya waktu, Muhammadiyah pernah terlibat pada politik praktis dan itu memang tidak bisa disalahkan juga, karena mungkin jiwa jaman yang dihadapi mengharuskan organisasi ini harus terlibat dalam dunia politik praktis. Apabila kita melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini, dimana kondisi pendidikan masih sangat tertinggal di bandingkan dengan negara-negara tetangga, maka sebaiknya Muhammadiyah kembali fokus untuk terus berusaha terlibat dan berkontribusi semaksimal mungkin demi kemajuan dan perbaikan kondisi pendidikan masyarakat Indonesia.
Daftar Rujukan
Amin Abdullah, M. 2005. Pendidikan Agama Era Multikultural -Multireligius. Jakarta: PSAP.
Anshoriy, N. 2010. Matahari Pembaharuan: Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Galangpress.
Arif, M. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LkiS
Gottschalk. 1983. Mengerti Sejarah. Terjemahan. Nugroho Notosusanto. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Kartodirjo, S. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta. Yayasan Bentang Budaya.
Kuntowijoyo. 1993. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Mulkan, Abdul M. 2010. Marhaenis Muhammadiyah. Yogyakarta: Galang Press.
Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Salim, P. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: English Press
Salimi, I dkk. 1998. Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologi, dan Organisasi. Suarakarta: LSI UMS.
Salman, I. 2005. Keluarga Sakinah Dalam Aisyiyah: Diskursus Jender di Organisasi Perempuan Muhammadiyah. Jakarta: PSAP.
Sazali. 2005. Muhammadiyan dan Masyarakat Madani (Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme). Jakarta: PSAP.
Shihab, A. 1998. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristenisasi di Indonesia. Bandung: Mizan.
Soyomukti, N. 2008. Metode pendidikan Marxis Sosialis. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Suwarno. 2001. Muhammadiyah Sebagi Oposisi. Yogyakarta: UII Press.
Tantowi, P. (ed). Begawan Muhammadiyah: Bunga Rampai Pidato Pengukuhan Guru Besar Tokoh Muhammadiyah. Jakarta: PSAP.
Thohari, H. 2005. Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis. Jakarta: PSAP.
Yunikasari, S. 2006. Sejarah Pendidikan Perguruan Taman Siswa di Malang Tahun 1925-1978. Skripsin tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
________, 1963. Makin Lama, Makin Cinta: Muhammadiyah Setengah abad 1912-1962. Jakarta: Departemen Penerangan.